Polemik Antara Mal Praktek dan Sengketa Medik



Maraknya kasus tentang Mal Praktek seolah tak pernah berhenti terendus oleh publik. Dijumpai dalam suatu pertemuan di sebuah Hotel yang ada di Surabaya pada Rabu, 23 November 2011 tentang sebuah diskusi hangat tentang Mal Praktek. Diskusi tersebut diadakan untuk menyikapi kasus tentang Akhmad Fathis, bocah berumur 3 tahun warga Banyu Urip Kedamean Gresik yang di duga sebagai korban Mal Praktik. Pihak Rumah sakit Siti Khodijah Sepanjang Sidoarjo sebagai Rumah Sakit tempat pelayanan kesehatan bocah tersebut akhirnya mau bertanggung jawab, terhadap dugaan mal praktek yang dilakukan pihak dokter RS Siti Khodijah. Seperti diketahui bocah malang itu saat ini mengalami kebutaan tuli dan lumpuh setelah mendapatkan suntikan sebelum dioperasi hernia oleh tim medis RS Siti Khodijah. 
Sebelum kita menilik lebih jauh tentang kasus ini, sebenarnya apa sih Mal Praktek itu? Dan mengapa adanya dugaan tersebut  kerap kali menjadi momok bagi masyarakat awam yang berobat di suatu instansi pelayanan kesehatan. Dalam diskusi tersebut hadir Ketua dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang akrab disapa dengan Prof. Pranawa. Beliau menegaskan bahwa yang dilakukan oleh dokter di RS Siti Khodijah tersebut sudah sesuai dengan SOP atau standar operasional Prosedur, hanya saja mungkin masih ada efek obat anestesi yang tidak dikehendaki terjadi pada tubuh pasien. Menilik pernyataan itu  tentu menjadi pertanyaan bahwa apakah ada penjelasan kepada pasien sebelumnya tentang efek samping obat?
Ada Undang-Undang No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, dalam Pasal 47 dikatakan bahwa setiap pasien berhak untuk menerima informasi mengenai penyakitnya, hasil pemeriksaan dirinya, dan rencana pengobatannya. Dari kebijakan tersebut tentunya setiap dokter harus ingat akan kewajibannya untuk selalu menginformasikan kepada pasien tentang hak- hak yang sudah sepantasnya diterima oleh pasien termasuk penjelasan dan mekanisme obat yang terjadi dalam tubuh. Profesor Pranawa menyatakan bahwa definisi mal praktek sendiri dalam dunia kedokteran itu tidak ada. Dari IDI sendiri lebih mengartikan hal tersebut sebagai suatu “Sengketa Medik”.

Undang-undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran secara implisit menyebutkan bahwa sengketa medik adalah sengketa yang terjadi karena kepentingan pasien dirugikan oleh tindakan dokter atau dokter gigi yang menjalankan praktik kedokteran. Pasal 66 Ayat (1) UU Praktik Kedokteran yang berbunyi: setiap orang yang mengetahui atau kepentingan dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia. Yang merupakan suatu adalah lembaga yang berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi, dan menetapkan sanksi. Majelis tersebut  merupakan lembaga otonom dari Konsil Kedokteran Indonesia, dan dalam menjalankan tugasnya bersifat independen, sertabertanggung jawab kepada Konsil Kedokteran Indonesia.

Dengan demikian sengketa medik merupakan sengketa yang terjadi antara pengguna pelayanan medik dengan pelaku pelayanan medik dalam hal ini pasien dengan dokter. Dan tidak semua sengketa medik diebut sebagai mal praktek. Mal Praktek menurut WMA (World Medical Associations) adalah adanya kegagalan dokter untuk menerapkan standar pelayanan terapi terhadap pasien, atau kurangnya keahlian, atau mengabaikan perawatan pasien, yang menjadi penyebab langsung terhadap terjadinya cedera pada pasien. Di dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga kesehatan berlaku norma etika dan norma hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical malpractice dan dari sudut pandang hukum disebut yuridical malpractice.

Hal ini perlu difahami mengingat dalam profesi tenaga perawatan berlaku norma etika dan norma hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat domain apa yang dilanggar. Karena antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang mendasar menyangkut substansi, otoritas, tujuan dan sangsi, maka ukuran normatif yang dipakai untuk menentukan adanya ethical malpractice atau yuridical malpractice. Jelasnya, tidak setiap ethical malpractice merupakan yuridical malpractice akan tetapi semua bentuk yuridical malpractice pasti merupakan ethical malpractice (Lord Chief Justice, 1893).

Rumah sakit yang memiliki Penyuluhan Kesehatan Masyarakat Rumah Sakit (PKMRS) wajib memberitahukan mengenai hak-hak pasien. Di setiap rumah sakit pasti ada tulisan mengenai hak-hak pasien. Untuk itu, diperlukan SOP di setiap rumah sakit, yang setidaknya ada 13 standar itu. Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis dan apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada dokter dengan segera. Ada baiknya bagi para tenaga kesehatan terutama untuk dokter agar menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya. Karena selain menjalin hubungan baik, secara tidak langsung dokter juga memberikan edukasi kepada masyarakat. 
Intervensi yang harus ditekankan disini adalah membuat MKDKI di tingkat Provinsi yang dapat dibentuk oleh Konsil Kedokteran Indonesia. Dengan begitu kedepannya diharapkan tidak ada lagi masyarakat yang menjadi korban mal praktik. Semoga*

 Dibuat waktu habis diundang di Acara Journalist Club SBO TV, Surabaya Hotel.

Komentar

Postingan Populer