Antara Logika dan Rasa

Jangan kata cinta bisa di hiraukan begitu saja
Karena pedangnya bisa menjadi seiring asa
Keindahannya sering kali membahana walau dalam diam
Karena cinta sesungguhnya mendamaikan
Melebarkan sayap-sayapnya.
Cinta tak perlu dikejar
Cinta hanya butuh sebuah komitmen yang padu antara logika dan rasa


Memang dasarnya sudah melankolis akhirnya jangan salah jika tiba-tiba muncul kata-kata yang sok puitis. 

Malam ini saya habiskan waktu untuk membaca artikel tentang Pak Habibie tentang kunjungannya beberapa waktu lalu di Garuda Indonesia.  Salah satu artikel yang di post salah seorang teman di facebook beberapa hari lalu. Datanya sudah saya save di laptop mulai dari kemaren saat ber-wifi-an ria di sebuah perpustakaan kota. Hanya saja baru sempat membacanya sekarang. 
Tergetak hati ingin membaca bukan karena sifat ingin tahu saya yang semata-mata karena ada tulisan atau pesan di note itu seperti ini, “menangis gan baca ini!” Saya tertarik baca karena memang saya cukup menyukai sosok pasangan ini Pak Habibie dan Bu Ainun. 

Beberapa bulan lalu saya berjalan- jalan di sebuah toko buku. Dan saya menemukan sebuah buku apik ber-cover-kan wajah beliau. Pak Habibie dan Bu Ainun. Karena waktu itu niat ke toko buku hanya untuk meng up date buku-buku baru dengan keadaan saku rata alias bokek banget terpaksa yang saya lakukan hanya membaca bagian belakang buku saja atau kutipan dari isi buku tetrsebut. Hastrat ingin beli sangat ada, tapi seakan pupus begitu saja menyerah pada keadaan. Akhirnya saya lanjutkan kembali keliling untuk melihat buku baru yang lain. Dan waktu itu buku yang ingin saya beli lainnya adalah bukunya Andy F. Noya, presenter talk show di salah satu stasiun televisi swasta. Tapi lagi-lagi hanya bisa membacanya saja beberapa dari isi buku itu di kursi- kursi yang sudah disediakan di toko buku selama berjam-jam. Kasian. 

Kembali pada artikel tentang “Kunjungan BJ Habibie ke Kantor Manajemen Garuda Indonesia”

Di Garuda City Complex, Bandara Soekarno-Hatta.

Beliau menegaskan bahwa di dalam industri apapun itu kuncinya hanya ada satu yaitu Quality, Cost dan Delivery lalu beliau menyebutnya denga QCD. Quality, Dimana kita harus bisa buat segala sesuatu tersebut berkualitas tinggi dan konsisten. Sedangkan cost atau biaya yang dapat ditekan serendah mungkin agar mampu bersaing dengan produsen sejenis dan delivery, yang menjelaskan bagaimana produksi itu bisa sampai tepat waktu. Begitulah kiranya. 

Tapi mungkin yang membuat saya benar-benar menangis malam itu saat membaca bagian yang menyebutkan cerita cinta beliau dengan sang istri Bu Ainun. 

Jika beliau menyebutkan bahwa selama hidupnya tidak pernah dipisahkan dengan ibu Ainun bahkan semasa dinaspun. Maka tidak salah jika pepatah bilang “Dibalik kesuksesan seorang pemimpin terdapat seorang wanita hebat dibalik itu”. Saya resapi tiap kalimat satu persatu dan kembali pikiran saya terbentuk. eh, ternyata saya menangis membaca ini padahal masih separo serita.

Keromantisan beliau dalam bercerita tentang bu Ainun seakan menggambarkan rasa cinta kedua insan yang saling mencintai dan begitu dalam. Bagaiman  tidak? Seorang Bu Ainun selau mendampingi beliau dengan rasa kasih sayang dan kesabaran yanf begitu akrab dengan ikatan batin seorang Pak Habibie semasa hidupnya. Ketulusan bu Ainun akan cintanya tergambar dalam sosoknya yang penuh cinta dan hidupnya yang hampir tak pernah mengeluh. Pantas saja jika Pak Habibie sempat mengalami kegilaan saat Bu Ainun pergi lebih cepat meninggalkan Pak Habibie untuk menghadap Sang Khaliq. 
Hingga beliau memutuskan untuk menulis semua kisah yang dialami bersama, berdua dengan bu Ainun dan menjadikannya sebuah buku.  Cinta yang hebat. :)

Menariknya hasil penjualan buku tersebut tidak dimaksudkan sama sekali untuk memperkaya Pak Habibie atau keluarganya. Semua uang hasil penjualan buku itu dimasukkan ke rekening Yayasan yang dibentuk oleh beliau dan ibu Ainun untuk menyantuni orang cacat, salah satunya adalah para penyandang tuna netra. Lagi- lagi adalah kisah Bu Ainun yang begitu penuh kasih sayang dan cinta. 
Dan... naluri saya sangat terketuk.


Angan-angan ingin seperti beliau (baca: Bu Ainun) seakan membuncah dalam kestabilan jiwa. Dalam hati berkata, Tuhan... jika ada orang semacam Habibie-habibie lain di masa datang, mungkin saya mau menjadi seoarang Ainun dalam hidupnya.

Hihi

Tapi, malam itu tidak sampai disitu ternyata. Hastrat melo saya semakin lengkap saat melihat film 3 Hati 2 Dunia 1 Cinta. Tidak tahu kenapa ingin melihat kembali film itu dengan CD yang sudah sempat pinjam di penyewaan DVD dekat rumah waktu paginya. Lagi-lagi bercerita tentang pengorbanan tentang cinta, bedanya film ini yang bercerita tentang dua insan yang saling mencintai tetapi sekat yang begitu besar harus mereka hadapi seiring kenyataan berjalan yaitu perbedaan akan keyakinan. Perjalanan panjang dan cinta yang mereka perjuangkan memang sudah selayaknya ditilik kembali akan buih buih kehidupan yang selanjutnya yang menjadi pertimbangan matang. Kisah cinta Rosyid seorang sastrawan dan Delia  seorang Antropolog yang memiliki jiwa sosial tinggi. 

Jika buku yang ditulis seorang Habibie untuk Ainun yang lebih menonjolkan muatan budaya didalamnya. Tak ada unsur kesukuan, agama, atau ras tertentu. Berbeda dengan film 3 Hati 2 Dunia 1 cinta.  Dalam film tersebut mungkin terdapat nilai-nilai ideologi, ras, agama yang terselip di dalamnya. Tapi lihatlah secara keseluruhan akan muatan yang terkandung dalam dua kisah yang dirangkai berbeda ini. Meskipun yang satu digambarkan dengan buku dan yang satu digambarkan dengan film. Lihatlah pesan yang disampaikan, sama. 

Bahwa cinta itu merupakan keterpaduan antara logika dan rasa. Tapi ketika pedangnya menjadi seiring besarnya asa, jangan cuma kata-kata, rasa cinta pun bisa di hiraukan begitu saja. Ada sebuah pengorbanan yang harus kita buktikan demi kokohnya cinta yang ada di hati kita untuk Sang pemilik Cinta sebenarnya. 

Karena Dia sejatinya pemilik kehidupan yang abadi. Move on.


21.30, 22 Januari 2012




Komentar

Postingan Populer