Suatu saat nanti, Nina pasti bisa seperti mama

Meng-halau Galau

Hari ini cukup lelah, baru sampai rumah kira-kira pukul 20.30 WIB. Memang belum terlalu malam, tapi pikiran masih belum bisa tenang. Tadi pagi, saya ngobrol-ngobrol dengan rekan gara-gara suntuk UTS. Di gazebo sebuah fakultas, kampus ungu biasa disebutnya. Sebelum jam ujian berlangsung, memang sengaja datang dua jam lebih awal untuk belajar bersama. Review belajar tadi malam, biar ingat lagi nanti pas ujian. Kegiatan ini sudah sering saya lakukan jika ujian tiba. Mendobrak-dobrak teman terdekat yang cukup mumpuni untuk ngajari  mata kuliah yang akan diujikan. Hehehe… Entahlah, kalo belajar sendiri mungkin kurang optimal, lagian saya juga gak seberapa paham. 

Semester empat. “Semester pertengahan dimana mahasiswa sering galau.” Kata teman saya.
“lha kenapa bisa begitu?” Saya balik tanya.
Jawabnya begini, “Iyalah, enggak sampe dua tahun lagi kita udah lulus. Sementara sekarang, mau kepeminatan apa di jurusan sama sekali enggak ada bayangan.”
Sama cuma bisa jawab, “sama!”
Hening… Keduanya saling berpikir. Tidak tahu pasti apa yang ada dipikiran dia. Tapi yang saya pikirkan…. Jauuuh sudah.
Kata dia “Ah, kamu tuh AKK udah… Otak-otak AKK (Administrasi dan Kebijakan Kesehatan)"

Dia mencoba menggoda saya. Saya cuma tersenyum dan balik tanya “Bagaimana kamu bisa seyakin itu kalo aku AKK? Aku saja masih 35:35:30. Itu artinya ada tiga jurusan yang masih berputar di kepala. Alias belum pasti.”

Lalu kami saling berbincang tentang masa depan, tentang standart kompetensi lulusan, tentang kuliah, tentang praktikum, tentang skripsi, ahhhh semuanya diomongin. Termasuk tentang, sebenarnya kita buat apa sih UTS? Huahahaha. Ini karena memang keduanya mengalami penurunan semangat belajar kuliah atau memang harus dipikir penting nggak-nya ada UTS??? Kita mikir…… -_-"

Toh nanti waktu lulus yang dilihat kemampuan, skill, softskill. Kalau teori melulu mah sering diabaikan. Kenapa kita nggak sering aja praktik gitu biar besok kalo udah lulus semakin luwes kerjanya? Kenapa kita mesti nunggu PKL, KKN atau magang untuk terjun langsung ke lapangan? Seenggaknya wilayah Surabaya tempat kita kuliah ini sudah pernah kita jamah semua. Baik wilayah barat, timur, selatan, utara. Kenapa mata kuliah kita terlalu banyak tapi hasilnya sedikit-sedikit, nggak seberapa matang? Atau kenapa nggak praktik lapangan itu dimasukkan di banyak mata kuliah, biar kita nggak melulu diajari teoriii aja? Atau karena kita S1? Atau karena kebijakan di fakultas kita nggak ada yang berani ngubah? Atau mungkin karena belum terbiasa? Banyak sekali pertanyaan kami berdua. Begitulah kiranya obrolan tadi siang.

Dan jujur saja, untuk mahasiswa yang kadang niat-kadang nggak seperti saya ini rasanya mikiiiir banget kalo udah masuk semester-semester atas. Bawaannya udah ingin cepet lulus, tapi ya belum siap kenyataannya. Sementara pikiran terus terganggu dan tidak tenang jika harus mikir mau kepeminatan di jurusan apa? Mungkin ini yang namanya galau? Dan harus segera di halau! :p

Antara pikiran dan hati sulit banget buat disatukan. Sementara kata orang… Bakat saya banyak. tapi saya sendiri bahkan nggak tahu berbakat apa, dimana? Kata mama bakat saya di bidang seni. Kata ayah bakat saya di bidang sosial. Kata teman, berbakat di bidang sastra. Kata teman lagi, ada yang bilang di jurnalistik. Kata teman lagi, ada yang bilang pelajaran matematika-saya kuat dan saya suka nggambar, sense of art saya bagus, jadi di bidang arsitektur juga bisa. Kata teman lagi ada yang di bilang “He, kenapa kamu nggak kuliah di jurusan hukum aja, kamu cerdas, kritis, diplomatis, aktif.”

Jiaahh… >,<

Yang mana???

Nggak ada satu pun yang nyenggol di kepeminatan kampus. Enggak ada.
Keadaan ini keulang lagi, sama di waktu SMA kelas XI dulu. Dulu saya pernah di kelas XII IPA 1. Kelasnya kecil, tepatnya di ruang meeting sekolah. Tapi fasilitas terjamin. Jumlah anaknya cuma 25 orang. Beda dengan kelas-kelas lain yang jumlahnya diatas 40 anak. Tapi bukan kelas akselerasi, cuma disitu katanya banyak berisi anak-anak guru, polisi dan PNS.
Waktu itu waktu pelajaran PKN. Dengan bab judulnya “potensi diri.” Seorang guru yang di mutasi dari sekolah yang ada di Jakarta, meminta semua muridnya untuk menunjukkan bakatnya di depan kelas. Nah, tiba saat saya di panggil. Saya tolah-toleh, bingung bakat saya yang mana??? Rencananya waktu itu saya mau nyanyi OST My Heart, lagi booming karena film-nya. Eh sampai di depan kelas, si teman ada yang berteriak “baca puisi!” Lalu ada yang teriak lagi “nulis cerita dong….” Lalu ada yang teriak lagi “orasi doong….” (karena dulunya SMA kelas X pernah juara orasi se-angkatan). Lalu ada yang teriak lagi “melukis…” (jelek-jelek gini dua tahun pernah juara ngelukis kali..)

Guru saya bingung, apalagi saya??? >,<

Saya juga ikut bingung. Yang mana buuk??? 

“Terserah yang mana, kebanyakan bakat sih kamu bingung begini jadinya.”
Dan akhirnya saya memutuskan satu bakat yang harus ditampilkan. Yaudah deh, nyanyi Lagunya Acha Septriasa-My Heart.

Sama, seperti sekarang. Beberapa teman banyak yang bilang, “kamu kayaknya salah jurusan deh Nin,seharusnya kamu kuliah di FIB saja di sastra, atau FISIP di Komunikasinya atau di filsafat atau di politik.”, “Bisa juga di fakultas hukum." "tapi…. Kamu juga bisa di farmasi, soalnya kamu udah punya basic dulu pernah bekerja di apotek.”, “Kamu juga bisa di teknik arsitektur, soalnya kamu suka nggambar sama jago matematikanya.”

Dulu… pas kecil, kalo di tanya “cita-cita kamu apa?”
“mau jadi dokter.” #eaaa

Back to galau bakat. lalu semenjak itu saya sering banget merenung. 
Bahkan sampai nangis… T_T

Ya Tuhan… Apa benar saya ini saljur alias salah jurusan?
Tapi, kenapa masih juga bingung saat udah nemu bakat yang dirasa cocok, eh ternyata nggak sama dengan keinginan hati?

Ngerasa minder kalo kuliah nggak bener kayak gini. Walaupun IP Alhamdulillah masih stabil di atas 3,… tapi rasanya… sedikit hambar. Dulu saya berpikir (kamu, kalo nggak masuk kuliah yang jurusan IPA ngapain kamu ambil IPA waktu SMA). Gengsi rasanya… Seolah dunia bilang “apa kata dunia?” Sekarang ngerasa kalo malas belajar kuliah, kalau lagi dapat nilai jelek, kalau kuliah gak paham-paham, kalau jarang berkarya, kalau pasif, atau kalau disaat belum nemu kepeminatan gini. Dunia rasanya balik bertanya pada saya “apa kata dunia  kalo kamu nggak seberapa getol kuliah?” :(

Bimbing hamba Ya Allah. Hamba tidak pernah menyesali apapun yang sudah hamba raih. Tapi jujur hati ini sedang galau. Hamba bersyukur jika memang bakat hamba banyak. Itu semua tak pernah terlepas dari karuniaMu. Berusaha lebih keras lagi, dan mencoba terus meng-explore diri untuk jalan yang sudah Engkau berikan. Hamba tetap yakin banyak sekali nilai positif yang belum bisa ditemukan sekarang. Tapi sungguh rasa syukurku tak akan pernah habis, terimakasih Allah sudah memberikan yang terbaik bagi hamba saat ini dan yang akan datang…..“ Amiin.

Suatu Saat Nanti, Nina Pasti Bisa Seperti Mama….

Sebenarnya, dulu waktu SD ada sesuatu yang bisa sedikit saya ambil contohnya. Mama suka nulis. Mama sering banget tulisannya di muat di Koran, di surat kabar, di majalah masak, di majalah anak-anak. Walaupun mama hanya mengirimnya dengan tulisan tangan, tapi tetap saja bisa di muat di banyak redaksi. Mama dulu pernah bekerja sebagai seorang perangkai bunga. Bagus banget bunganya. Semua mall di Surabaya pasti ada sebuah counter di mana perusahaan tempat mama bekerja. Kata ayah.. ”Dulu mama kamu kalo sekolah pinter banget.”

Mama benar-benar sukaa banget nulis. Bahkan ke empat anaknya punya buku agenda yang tersusun rapi masing-masing. Saya punya dua buku agenda sejak saya masih di dalam kandungan mama sampai saya SD. Begitu pula dengan adik-adik. ketika anaknya beranjak dewasa diberikanlah buku-buku tersebut kepada anak-anaknya. Uuu… Semuanya isinya, bagus banget kalo di baca. Ada yang bikin nangis, ketawa, kejadian lucu kami di waktu kecil semuanya terangkum rapi oleh tulisan tangan mama. Sampai pada suatu saat… “Nina ingin seperti mama.”

Tidak cuma itu. Mama adalah orang yang sangaaaaat sabar. Mama bukan orang yang egois, mama dengan empat anaknya yang selalu sabar menghadapi ujian hidup. Pernah suatu saat, saya sedang kesal sekali, ingin marah tapi tak bisa di tahan. Akhirnya jadi nggondok. Tapi mama datang ke tempat saya berdiri. Mama peluk Nina, mama bilang “Siapa yang bersabar, nanti yang akan beruntung. Kalau sedang kesal, marah atau benci sama orang harus banyak-banyak istighfar… Ini semua dari Allah, Allah Maha Tahu, kembalikan semua sama Allah. Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang bisa lalui ujianNya dengan bersabar dan tawakal.” Mama peluk saya, mama elus-elus punggung saya. Hingga saya bisa meleleh dan menangis di pelukan mama.

Mama bilang… “Nina harus bisa jadi orang yang sabar ya… Harus janji sama mama.”

Dan saya menganggukkan kepala di depan mama yang selalu tersenyum. Mama baik sekali hatinya, mama selalu patuh sama ayah. Mama baru tidur kalau semua yang ada di rumah sudah pada tidur. Tapi mama yang bangun pertama dan yang siapin sarapan pagi. Apalagi jika ayah butuh teman ngobrol, sampai jam tiga pagi pun mama setia nemenin ayah ngobrol. Tidur cuma satu jam, jam empat subuh sudah bangun lagi. masakan mama sangat enak. Tak jarang orang-orang di kampung pesan masakan mama untuk hajatan. Mama mampu bertahan, walau keadaan tak semulus apa yang diharapkan. Mama selalu membagi adil jatah-jatah untuk anaknya. Mama tak bosan buat ingatkan anaknya untuk selalu berdoa dan sholat tepat waktu. Mama tidak pernah berpikiran jelek sama orang lain. Mama cantik luar-dalam. Itu sebabnya mengapa cita-cita Nina ingin menjadi seperti mama.

Bahkan sampai sekarang, mama tetap aktif menulis. Walaupun mama tidak bisa komputer, tidak seperti mama teman-teman lain yang seorang wanita karir. Tapi tulisan mama bagus. Mama tak pernah berhenti berdoa untuk anak-anaknya. Begitupun untuk sekolah anak-anaknya. Mama sering berpesan, “meskipun, kita tak sekaya mereka tapi tunjukkan kalau kita sungguh-sungguh menuntut ilmu.”

Sekitar tahun 2009, saya pernah mendapat gaji pertama dari hasil kerja. Rencananya mau dikasih ke mama semuanya. Waktu itu gaji pertama magang sebesar Rp 400.000,-.

“Ini buat mama…”
Tapi kata mama, “Uang yang ada di amplop putih itu untuk jajan Nina saja ya…”

Mama tidak mau menerima uang dari hasil kerja saya yang pertama. Saya cukup kecewa, tapi saya tak kehabisan akal. Jadi uangnya terpaksa dibelikan sembako untuk satu bulan. Hehehe.
Kalau boleh meminjam kata untuk mengungkapkan, mungkin mama itu seperti judul lagunya Rossa “Wanita yang Terpilih”

Sekarang, justru Nina malah seneng banget. Meskipun jurusan yang saya ambil adalah eksak tapi kemampuan nggak kalah juga sama anak-anak yang sosial. Kata siapa yang bisa nulis cuma anak sosial? Hehehe

Apapun bakatnya… Cita-cita tetap ingin menjadi wanita seperti mama!

Dan suatu saat nanti, Nina pasti bisa menjadi seperti mama… Mama, so much I love you



note hari Senin, 16 April 2012. 

Komentar

Postingan Populer