cadhwell-luc #part 3-habis


Besok  aku mau operasi! Yeay!
Aku mau operasi. :D

Jam 23.10 WIB. Aku seperti orang bodoh yang terus menghibur diri sendiri sejak semalaman. Denyut nadiku yang terus memelan membuatku harus sering-sering tersenyum. Terus menarik-narik pipiku selebar mungkin agar aku tetap tersenyum. Mengingat-ingat kejadian lucu bersama teman, canda tawa bersama mereka cukup membuatku kangen. Menyalakan acara komedi di TV. Berpura-pura menonton TV dengan khidmat, bernyanyi kecil di depan kaca, memutar-mutar rambut lembutku yang sudah mulai tampak panjang.
Laalalaa~
Ya, aku harus tetap tersenyum.

Aku menatap kaca melihat wajahku yang sungguh manis dan imut. Aku lucu ya? Benar kata temanku, aku ini luuuuwwcuu sekali. Sampai-sampai walaupun hidung kananku keluar darah aku tetap bernyanyi-nyanyi di depan kaca.

Aku cantik!

Aku terlihat cantik.

Rupanya darah yang keluar dari hidung ini sudah mengalir akan menyentuh bibir.
Hmm.. epistaksis lagi... Aku harus cepat-cepat mengusapnya dengan bagian kerah kaosku.
Ketika sudah terusap, aku kembali lagi bercermin, melihat senyumku yang sungguh manis.
Ternyata, wajahku tidak kalah manisnya dengan Kate Middleton istrinya Pangeran William!
Aku membuka lemari pakaianku, dan mencoba long dress biru donker pemberian sepupu.
Bagian perutnya bermotif bunga-bunga warna putih. Aku sungguh menyukai baju ini. Kapan ya aku bisa pergi ke pesta?
Dengan long dress ini, atasnya akan ku beri rompi berwarna serupa. Biru donker. Agar aku tetap cantik memakainya dengan jilbabku.

Tapi besok aku mau operasi… 

***
 Setelah dua kali tidak jadi operasi karena badanku drop, akhirnya hari ini aku akan menjalani operasi. Pukul 10.00 WIB, dokter mengantarku ke sebuah ruangan operasi. Dengan kapas yang sudah terpasang di bagian dalam tulang maxilla, aku berjalan menggandeng ayah. My hero! Aku tidak boleh pingsan lagi, jika sekali ini aku pingsan maka dokter pun akan kecewa. Agenda operasi yang sudah di acarakan harus di cancel. Aku tidak mau menundanya lagi. Aku harus kuat.
Dokter berada di belakangku. Dengan cepat beliau berjalan sehingga lebih dulu masuk ke ruang operasi dan memberikan briefing kepada rekan dan perawatnya. Aku masih di luar ruangan kaca itu duduk manis di samping ayah.
Kata ayah, “hatinya yang pasrah…. Ada Allah bersama kita!”
Aku mengangguk halus, sambil menahan reaksi nyeri di daerah maxillaku.
Kapas ini berfungsi untuk sterilisasi. Kecil, panjang, dililitkan memanjang ke dalam hingga tulang maxilla.
Jadi bernafas melalui mulut dahulu.
Pukul 10.15 WIB. Setelah proses persetujuan operasi.
Lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an di sepanjang jalanan menuju ruang operasi cukup membuatku merasa tenang, indah sekali suara yang ada di kaset itu. Ku biarkan setiap ayatnya masuk melalui telingaku, mengalir bersama aliran darah, mengalir melalui neuron merasuk ke otakku. Menstimulus setiap sel yang ada di otakku untuk mengeluarkan endorphin lebih banyak. Agar aku merasa tenang, damai, bahagia.
Tulisan-tulisan arab yang terpampang menggantung di sepanjang jalan rumah sakit juga cukup membuatku tersenyum. Tinggal hati dan pikiran yang harus mau luluh, tidak takut, tidak gentar menghadapi ini semua. Ku pakai baju ijo ini dengan perlahan. Ketika sudah terpakai rapi di tubuhku yang dingin aku pun memasuki ruangan, sendiri.
Sendiri!
Ku biarkan memoriku menyadap suara setiap ayat yang ku dengar tadi.  Mengingat makna dari setiap kaligrafi yang sempat meraup pandangan mataku, menyapa lensa bulat ini dan memberikan respon ke otakku agar aku tetap sadar. Bahwa aku tidak sendiri.
Ya, aku tidak sendiri.
Ada Allah bersamaku….
Kakiku melangkah masuk ke ruang operasi. Sudah ada dokter yang juga memakai baju serupa.
Lampu dinyalakan, perawat-perawat itu bergantian mengajakku bicara.
Berusaha menenangkan keteganganku dengan lelucon yang mereka buat.
Degup ini tetap tersebut namaMu, pikiran ini tetap berusaha menggantung dalam kuasaMu.
Berilah kekuatan Ya Allah. Tiada daya dan upaya selain dari Engkau…
Dokter memintaku untuk memejamkan mata. Cairan ephedrine disemprotkan ke dalam rongga hidungku. Tanda operasi akan dimulai. Menyengat sekali aromanya, butiran yang serupa droplet menyebar ke seluruh mulut hingga tenggorok. Membuat lapisan tenggorokan seolah menjadi tebal.  Tebal sekali, aku tidak terasa lagi, aku sudah tidak dapat menelan lagi, aku hanya bisa bernafas melalui rongga hidung sebelah kiri. Aku ingin muntah. Aku susah berbicara, aku tidak bisa menelan ludah…. Butiran bening dengan sendirinya melapisi kedua mataku.

“Aku ingin menangis dok….” Gerutuku dalam hati.

Hampir saja operasi di batalkan karena kondisiku yang drop lagi seketika itu. Dokter cemas, perawat cemas, tapi aku… Aku berusaha melawan rasa tebal yang terpasang memasung tenggorokanku.

“Ini hanya reaksi anestesi. Tenang Nina.. tenang… cepat ambil nafas dalam dan perintahkan medulla oblongatamu untuk menahan reflek muntahnya… buktikan ke dokter dan rekannya bahwa hari ini akan operasi, tidak boleh batal lagi. kamu pasti bisa, kamu pasti kuattt!”  Hatiku mengajakku bicara lagi.

Krekkkk!
Ku dengar tulang pipih pipiku rapuh terdesak benda keras itu. 

"Sinus maksilaku terbuka, menembus tulang pipi. Supaya tidak terdapat cacat di muka, maka insisis dilakukan di bawah bibir, di bagian superior (atas) akar gigi geraham 1 dan 2. Kemudian jaringan di atas tulang pipiku diangkat kearah superior, sehingga tampak tulang sedikit di atas cuping hidung yang disebut fosa kanina. Dengan pahat atau bor tulang itu dibuka, dengan demikian rongga sinus maksila kelihatan. Setelah cunam pemotong tulang lubang itu diperbesar, isi sinus maksila dibersihkan. Setelah sinus bersih dan dicuci dengan larutan bethadine, dibuat anthrostom. Bila terdapat banyak perdarahan dari sinus maksila, maka dimasukkan tampon panjang serta pipa dari plastik, yang ujungnya disalurkan melalui antrostomi ke luar rongga hidung. Kemudian luka insisi dijahit." 


Hehhh… operasi sudah berjalan ternyata.

Benda itu mampu menembus tulang pipihku dan masuk ke dalam rongga maxilla itu. Aku menahan nafas, mendengarkan aba-aba dokter dengan baik. Mataku tetap terpejam. Benda-benda tajam itu masuk ke rongga hidungku dengan sempurna, mengeluarkan cairan yang menginfeksi bagian dalamnya. Yang membuat kepalaku berat setiap harinya, untuk sujud ketika sholat rasanya seperti membawa sebongkah batu. Membuat pipiku sakit bila  di pegang, membuat cairan mukusku berwarna kuning dan membusuk. 
Pembedahan cadhwell luc terlaksana dengan baik.

Ya, antara sadar dan tidak. Pikiranku terus mengeja kata demi kata di atas kepala.

AsmaMu tetap membahana merasuk ke penjuru sel-sel yang tersebar di ragaku. Membuat satu titik dimana aku harus belajar tentang sebuah kepasrahan. Pasrah.

Sungguh kita sangat lemah, berusaha total untuk mendekap erat sebuah Dzat dan terus merengkuh keridoanNya.

Di satu titik kita bersandar tentang semua kehidupan yang terjadi. Satu titik itu membuatku kuat dan terus bertahan untuk tetap berjuang.

Selang beberapa menit kemudian….

Operasi dinyatakan berhasil. Dokter memberi selamat kepadaku, karena aku telah kuat menjalani proses pembedahan dengan bius lokal ini. Dokter salut dan menyalamiku kembali saat aku sudah tergeletak lemas di atas kasur ruang operasi menghabiskan sisa efek anestesi yang sungguh mencekik tenggorokanku. Membuat aku sesak, sulit untuk bernafas.

“Dengan pelan, aku menjawab… Allah yang mampu menguatkanku dok…”

Dokter tersenyum, bangga.. operasiku berjalan dengan lancar.

Sambil ku lihat remang, beliau terus mengusap ceceran darah di rompi operasiku dan sekitar bagian wajahku. "Terimakasih dok..."

Aku tergeletak, lemas. Tapi aku sudah sembuh.

Satu titik itu membuatku merasa tenang, setenang-tenangnya.
Kepasrahan yang tetap menjamah.
Bahwa ada Allah yang selalu ada bersama hambanya yang sabar…..




Komentar

Postingan Populer