Tanpa Lembayung Bali
#genre:fiction
Kalau saja malam itu kami tidak bertemu,
mungkin aku tidak akan se-remuk ini. Kalau saja malam itu aku tidak
meminjam buku ilmu politik di perpustakaan, mungkin juga kami tidak
akan bertemu. Tapi, mungkin waktu sudah menjawab semuanya. Yang
sering mereka bilang ‘waktu yang akan menjawab’?
Ya, waktu yang menjawab!
Kami memang bukan sahabat, kami juga baru tiga
kali bertatap muka. Tapi aku kenal dia, juga dari pertemuan di tahun
lalu waktu acara bedah film di suatu tempat. Dan dari pertemuan itu,
dia merasa cocok ngobrol denganku.
Hingga sekarang, dia nyaman berbicara lebih bahkan tentang masalah
perasaannya. Panggil saja, “Rina.”
Pada saat pertama kali aku melihatnya, dia
sebagai pembawa acara di acara bedah film tersebut. Dia cerdas, manis
dan penuh percaya diri. Pakaiannya tertutup, seperti wanita yang didambakan lelaki rohis umumnya. Dari pertemuan
itu, kami bertukar nomer telepon, kami saling mengirim pesan, dan
kami saling berkomunikasi. Hingga sekarang. Tepat satu tahun aku
mengenalnya.
Malam ini, kami bertemu. Biasa, mungkin karena
kami tidak pernah bertemu lama. Jadi ingin menyambung tali
silaturahmi, akhirnya kami bertemu di kesempatan yang berbeda. Kali
ke empat kami bertemu. Kali ke empat kami saling bercerita. Tapi,
memang Rina yang paling banyak bercerita ketimbang aku.
Aku hanya berpikir, syukurlah kalau memang aku
menjadi tempat yang nyaman untuknya bercerita.
Dahulu, sekitar usai perayaan hari raya idul
fitri, kami memang sempat bertemu karena ada sesuatu yang dia akan
titipkan ke seorang laki-laki yang satu kampus denganku. Aku merasa,
ada yang aneh ketika Rina menceritakan tentang laki-laki itu. Dia
begitu antusias, matanya begitu memancar ketika dia bicara, bahkan
ketika aku lihat dia menyatakan benci dengan laki-laki itu, matanya
berbicara…. “dia sangat menyukai laki-laki itu.”
Tapi, aku hanya mengimbangi ceritanya dengan
perasaan senang dan nyaman sebagai subjek pendengar. Kala itu, hatiku
memang cukup bertanya-tanya. Karena si Rina, dengan tegas menyuruhku
agar sesuatu yang ia titipkan segera sampai ke tangan laki-laki yang
sampai sekarang satu kampus denganku.
Bahkan dia mengatakan, “di dalam situ ada
suratnya, ku mohon segera sampai ke tangan dia ya…” ujarnya
memohon kepadaku. Dan aku pun dengan cepat mengiyakan. Padahal waktu
itu masih dalam keadaan liburan panjang setelah hari lebaran. Aku
berpikir, “ya, aku harus segera memberikan barang titipan ini ke
laki-laki itu.” Meskipun ini masih libur aku pun sempat berencana
untuk memberikannya sebelum memasuki waktu masuk perkuliahan.
Singkat cerita, malam ini kami bertemu kembali.
Dia ingin mengucapkan terimakasih kepadaku karena suatu hal. Aku pun
menemuinya ba’da maghrib. Ku kayuh sepeda miniku lebih kencang agar
segera sampai ke tempat tujuan. Sampai disana, kami bertemu dan
layaknya dahulu. Dia bercerita kembali dengan nyamannya kepadaku.
Selain dia mengucapkan terimakasih, dia juga bercerita lagi tentang
laki-laki yang satu kampus denganku itu.
Rupanya, mereka ada hubungan spesial.
Setiap dia cerita, topik terbesar adalah
tentang laki-laki itu. Walaupun dia sempat mengatakan di awal bahwa
dia tidak menyukainya. Sungguh aneh! Tapi, menit demi menit, detik
demi detik mulai tampak jelas. Dia menceritakan kegelisahannya karena
laki-laki itu sudah jarang lagi menemuinya bahkan sms pun tak pernah.
Aku melihat kegelisahan yang mendalam dimatanya.
Tapi, aku berusaha menghiburnya agar dia tidak
terlalu membenci laki-laki itu. Hingga akhirnya, apa yang saat itu
dia ceritakan berbalik arah menjadi hal-hal menyenangkan yang telah
mereka lalui bersama.
Seperti ngobrol berdua dengan waktu yang
sangat lama, memandangi pemandangan danau kampusku yang indah, dan
tentang kegiatan pertemuan mereka yang intens.
Saat mereka bertemu dan ngobrol berdua, juga
pernah diketahui oleh keluarga laki-laki itu di sebuah acara
pernikahan. Sampai-sampai, si Rina cukup malu, karena dari pihak
keluarga laki-lakinya sempat menggodai keduanya yang sedang asyik
ngobrol selama berjam-jam.
Aku mendengarkannya cerita tentang itu di
sampingnya. Aku menatap kilau wajah Rina pada saat dia cerita. Aku
berpikir dalam hati, “hmm, pantas saja Rina senang, karena
laki-laki itu juga mempunyai perasaan yang sama dengan Rina.
Syukurlah... .”
Rina begitu mencintainya, kadang gesture
tubuhnya menceritakan bahwa dia sangat khawatir akan keadaanya,
kadang mimiknya sangat berbicara bahwa Rina mencemaskan kesehatannya,
kadang tertawanya berucap seolah-seolah “aku mencintaimu hingga
sekarang.” Dan kadang gerak tangannya juga berkata bahwa dia masih
menunggu.
Aku, hanya mampu mendengarkan Rina dengan raut
wajahku yang sedikit tersenyum jika dia sedang jengkel menceritakan
laki-laki itu. Sedikit-sedikit aku tertawa kecil, sedikit-sedikit aku
mengangguk.
Aku tidak ingin membiarkan ceritanya terputus
sedikitpun. Karena aku tahu dia sangat suka menceritakan laki-laki
itu.
Aku hanya berharap, semoga Tuhan menjaga
perasaan setiap insannya dengan sangat baik. Termasuk perasaanku saat
Rina menceritakan laki-laki yang yang ia cintai dan ku cintai.
***
Pulang dari perpustakaan, kami berpisah. Dia
pulang mengendarai sepeda motornya. Dan aku pulang mengendarai sepeda
miniku. Dia pulang ke arah selatan, dan aku pulang ke arah utara.
Aku hanya merasakan dadaku seolah dipenuhi gemuruh ombak laut yang
sangat kencang. Tanganku gemetaran hingga ke ujung jari-jari.
Mungkin, selama ini perasaan yang ku punya salah!
Sebelumnya aku tidak pernah tahu, bahwa mereka
…. Sangat dekat.
Mungkin juga benar, mereka mempunyai perasaan
yang sama. Yang tak seharusnya ada orang lain yang mempunyai perasaan
kepada laki-laki yang selama ini Rina ceritakan. Pertemuan ke empat
ini, cukup membuat tekadku untuk berpikir menjauhinya, menjauhi sosok
laki-laki berkacamata yang memenuhi rongga khayalanku bahwa kelak dia
akan menjadi suamiku.
Aku mengayuh sepedaku lebih cepat, bahkan aku
pun tidak sadar bahwa aku berjalan terlalu menengah ke jalan raya.
Klakson mobil bergantian mengingatkan keberadaanku. Aku secepatnya
menghentikan lamunanku dan segera minggir ke tepi.
Seperti waktu malam ini, yang menggema keras
seperti klakson itu yang menyuruhku segera ke arah pinggir lajuanku.
Tapi, bisakah aku melakukan itu secepat
mungkin, agar perasaan yang tumbuh ini cepat terpangkas bersama
harapannya. Meskipun aku mencintainya secara diam-diam. Nyatanya, aku
ingin menjauhinya sejak dulu. Walaupun laki-laki itu hanya sebatas
temanku. Tapi…. Aku tidak pernah bisa.
Aku tidak pernah bisa berhenti bermimpi tentang
laki-laki itu. Sampai dirumah, tidak sengaja mama memutar radio yang
tergeletak di ruang tamu. Benda itu mengeluarkan suara nyanyian yang
saat ini terpasung lagu dari Saras Dewi yang berjudul ‘Lembayung
Bali.’ Lagu itu merupakan lagu favoritku untuk laki-laki itu.
Jika
mencintai maka cintai saja, beri saja ia cinta
Cintai dia dengan sederhana
Cintai saja
Ya. Cintai saja
Tanpa perlu berharap apapun
Apalagi agar dia melakukan hal yang sama
Seperti cinta ibu pada buah hatinya
Seperti cinta matahari kepada bumi
Seperti cinta bintang pada langit malam
Aku
berlari ke kamar, cepat. Segera mengunci pintu. Tapi, Suara radio itu
samar-samar mampu merasuk di telingaku. Aku ingin segera pagi,
melihat mentari tanpa lembayung bali. Aku ingin lari, tanpa putus asa
dan harapan yang tersisa. Langit, angin malam, bulan-bintang, dan
tangisanku seolah terbungkus jadi satu dalam lelap tidurku untuk
segera melupakan laki-laki itu. (*)
***
Menatap lembayung di langit Bali
Dan kusadari betapa berharga kenanganmu
Di kala jiwaku tak terbatas
Dan kusadari betapa berharga kenanganmu
Di kala jiwaku tak terbatas
Bebas berandai memulang waktu
Hingga masih bisa kuraih dirimu
Sosok yang mengisi kehampaan kalbuku
Bilakah diriku berucap maaf
Masa yang tlah kuingkari dan meninggalkanmu
Oh cinta...
Sosok yang mengisi kehampaan kalbuku
Bilakah diriku berucap maaf
Masa yang tlah kuingkari dan meninggalkanmu
Oh cinta...
Teman yang terhanyut arus waktu
Mekar mendewasa
Masih kusimpan suara tawa kita
Kembalilah sahabat lawasku
Semarakkan keheningan lubuk
Masih kusimpan suara tawa kita
Kembalilah sahabat lawasku
Semarakkan keheningan lubuk
Hingga masih bisa kurangkul kalian
Sosok yang mengaliri cawan hidupku
Bilakah kita menangis bersama
Tegar melawan tempaan semangatmu itu
Oh jingga
Sosok yang mengaliri cawan hidupku
Bilakah kita menangis bersama
Tegar melawan tempaan semangatmu itu
Oh jingga
Hingga masih bisa kujangkau cahaya
Senyum yang menyalakan hasrat diriku
Bilakah kuhentikan pasir waktu
Tak terbangun dari khayal keajaiban ini
Oh mimpi!
Senyum yang menyalakan hasrat diriku
Bilakah kuhentikan pasir waktu
Tak terbangun dari khayal keajaiban ini
Oh mimpi!
Andai ada satu cara
Tuk kembali menatap agung surya-Mu
Lembayung Bali
Tuk kembali menatap agung surya-Mu
Lembayung Bali
[Cerpen fiksi ini terdaftar dalam lomba #NULISASYIK bersama Sitta Karina]
Komentar
Posting Komentar