Aku Bukannya Menunggu



 Raut wajahku sudah mulai tampak banyak kerutan. Tidak sekencang dulu saat aku masih berumur dua-puluhan. Badanku juga sudah mulai tak berbentuk. Kulit di perutku juga sudah banyak yang menggelambir. Anakku sudah lima. Sejak umur itu aku menyudahi pekerjaanku sebagai wanita karir. Aku ingin waktuku lebih banyak di rumah, selalu ada di samping kamu dan anak-anakku meski mereka telah dewasa. 

Bahkan, makanan di meja makan bundar itu, aku mengusahakan selalu ada untuk kamu dan anak-anak. Tersaji hangat, nikmat, bermacam-macam, bergizi sempurna. 

Aku melihat kamu juga sudah tampak tua. Bahkan kerutan tidak hanya di wajahmu, bahkan disekujur tubuhmu. Semua sudah tampak keriput. Panggilan kita dulu ‘mama-papa’, tapi waktu cepat sekali merubahnya menjadi ‘eyang uti-eyang kakung’. Aku tak pernah lupa menyediakanmu kopi panas saat pagi kan sayang? Aku juga tak lupa menyelimutimu saat kau terlelap tidur disampingku. Aku sungguh menyayangimu.

Sebenarnya, aku tak inginkan hal-hal romantis seperti kita muda dulu. Aku tak ingin seikat bunga mawar merah yang selalu kau beri untukku di saat ulang tahun pernikahan kita. Aku tak ingin kau bernyanyi merdu dengan lagu cinta yang sering kau bawakan untukku. Aku tak ingin kau melilitkan shall di leherku saat aku kedinginan. Bahkan aku juga tak ingin uang pensiunan ini yang setiap bulan masih aku terima. 

Merasakan kita dapat menengguk gelak canda setiap hari, melihatmu bisa bahagia menikahiku, dan seringnya kau bilang I love you sambil mengecup keningku, itu keromantisan tersendiri buatku. Sayangnya, aku masih berharap waktu itu terulang kembali. 

Aku bukannya menunggu, hanya saja aku selalu tahu kemana jejak-jejak yang kau tuju. Aku bukannya menunggu, tapi aku tidak mampu termangu lebih lama lagi tanpa kamu. Aku bukannya menunggu, rasanya sekarat jika sekarang disuguhi  diammu yang membuatku lebih bisu. 

Aku bukannya menunggu, rasanya dunia ini masih kukuh. Aku bukannya menunggu, sungguh hatiku seperti terpagar bambu saat ada kamu. Cuma kamu yang bisa. Kamu yang aku mau. Kamu yang mestinya tahu. Kamu yang diam selalu. Dan kamu yang selalu ingin ku bilangi I love you. 

            Aku bukannya menunggu, ini hanya tentang rindu yang terlalu menggebu. Tidak ada yang bisa aku lakukan, hanya hadir disini. Berjuntai do’a sambil menciumi nisanmu, malam-malam dengan piama biru yang sempat kau pakai dulu.

[flash fiction ke-11, on the next book 'Cinta Dalam Diam']

Komentar

Postingan Populer