Kepada kamu, dengan penuh ketakutan
Kepada Kamu,
dengan penuh
ketakutan.
Aku takut akan
hati yang selalu menebak-nebak. Ya, hanya bisa menebak-nebak. Selalu begitu.
Aku takut membenci itu, senyum yang tersuguh kepada siapa saja. Termasuk aku
takut menyalah artikan senyum yang hadirnya sudah merasuk ke pendar-pendar
asaku.
Aku takut, takut
mengagumimu dengan berlebihan. Aku ingin sederhana saja. Sederhana saat
kita tidak sengaja saling bertatapan, juga sederhana saat kita sempat memberikan
senyuman secara bersamaan. Karena aku takut, saat kau mulai sedikit memperhatikanku dan aku
menyukainya. Termasuk aku takut, takut tidak bisa membuat kamu bahagia dan
setia. Aku takut kau memberikan rasa nyaman sementara aku sudah terlena. Lalu
aku berharap kau mempunyai perasaan yang sama. Sungguh, aku sangat takut.
Aku takut jatuh
cinta, jatuh cinta kepada kamu yang seperti bintang di langit. Tidak akan
pernah bisa ku gapai meski selalu terlihat. Sementara aku, hanya rumput yang
terseok di tanah dengan tetap mempertahankan kehijauanku.
Aku takut bermimpi,
walaupun sebenarnya bermimpi tentangmu bisa membuatku merasa bahagia.
Tapi aku takut. Ini
akan menjadi candu karena aku selalu merasa bahagia ketika nomormu muncul di
inbox-ku, aku melihatnya. Menyadarinya bahwa nomor itu nomor kamu yang tidak
pernah ku simpan dalam sebuah nama. Kamu tahu karena apa? Agar aku hafal betul
berapa digit dan angkanya. Jemariku membalas dengan gesitnya tanpa ada satu
cacat sedikitpun, rona bahagia, girang menjadi satu. Setelah aku menunggu balasan, ternyata baru muncul satu hari
kemudian. Oh Tuhan, aku begitu takut.
Aku takut
menjauhimu. Menjauhi orang yang bisa membuatku berkarya 2000 kata perharinya. Bagaimana mungkin
aku bisa berada jauh darimu, sedangkan disini aku selalu merasa getar-getar semangatku selalu membara saat melihatmu. Oleh karena itu aku takut sendiri,
takut merasa sepi, takut bosan, takut menggagap, bahkan aku takut salah tingkah.
Aku diam, bukan karena aku menjauh. Tapi aku hanya ingin memperjuangkan sedikit ruang
yang mungkin ada di hatimu. Tapi, tetap dengan ketakutan.
Aku takut
tentang rindu, yang hanya bisa meletup-letup di dada, bergumul di pikiran, tanpa suara, tanpa
bicara, tanpa sms, tanpa telfon, bahkan tanpa isyarat. Tapi aku selalu berdo'a agar ini tetap mengalir di jalanNya.
Apakah, saat kau
duduk di sampingku kemarin, benar-benar kau ingin dekat denganku atau hanya
sekedar ingin diskusi atau tidak kebagian tempat duduk saja? Mungkin ini hanya
perasaanku saja yang terlalu percaya diri mengartikan itu semua. Sekali lagi
aku takut, jika ini adalah hal biasa yang sering kau lakukan kepada sesama hawa. Aku takut ini cuma hal biasa yang kau lakukan secara kebetulan. Hanya kebetulan, walaupun tampaknya kamu duduk di bangku sampingku berulang kali.
Aku takut, jangan pernah pergi. Katakan apapun, untuk melebur ketakutanku. Walaupun
itu bukan kata cinta. Aku tetap mau.
Semoga, aku tidak takut lagi.
Repost gaya surat Raditya Dika, dengan sedikit editing di bagian alur.
Komentar
Posting Komentar