Nasionulisme!



Oleh: Dewiyana



Lunturnya budaya membaca membuat segenap elemen di negeri ini mengalami banyak kemunduran, terutama dalam bidang pendidikan. Apalagi disaat semua informasi dengan mudah didapatkan dari berbagai media. Membaca buku menjadi hal yang dinilai kuno dan membosankan. Akhirnya, bangsa telah lupa bahwa budaya tersebut dapat mengantarkan kita ke dalam hal yang lebih terdidik dan terdepan. Untuk itulah diperlukan penyokong agar budaya membaca terus tumbuh dan tak pernah mati, yaitu budaya menulis. 
Sebut saja nasionulisme.





 

Mungkin sedikit terdengar aneh, bahkan nyeleneh. Tulisan ini berangkat dari hawa kemerdekaan yang mulai menyeruak ke seluruh Nusantara kala awal bulan Agustus dimulai. Rakyat Indonesia akan merayakan HUT RI yang ke-68 di bulan Agustus 2013 ini. Sedikit banyak kita mulai disuguhi berbagai macam tampilan merah putih yang terpampang di setiap pagar rumah, tayangan-tayangan kebangsaan, lomba-lomba agustusan, kompetisi dan diskusi bertajuk kebangsaan.



Disamping sebagai perayaan nasional yang diadakan setiap tahunnya, hal tersebut dibuat untuk membangkitkan rasa nasionalisme. Secara tidak langsung, frasa ‘Nasionalisme’ memiliki arti yang sangat dekat sekali dengan sikap dan perilaku warga negara terhadap negaranya. Indonesia memiliki banyak pejuang dan sejarah panjang dalam menempuh kemerdekaannya. Untuk itulah penduduk Indonesia perlu memiliki rasa cinta terhadap negaranya sendiri.



Tapi, kebanyakan mereka tidak tahu pasti sejarah atau cerita heroik dibalik itu semua. Mereka hanya mendengar dari cerita kakek-nenek, orang tua, guru sejarah di sekolah atau putaran video perjuangan arek-arek Suroboyo. Mengapa demikian?



Lunturnya Budaya Membaca



“Membaca adalah jendela dunia.”

Quote lawas yang dari dulu selalu terdengar di telinga. Masih ingat pesan bapak-ibu guru di saat kita SD? “Buku paketnya silahkan dibaca di rumah dari hal 25-27 ya anak-anak….”, “Wah, harusnya dibaca dulu kalau kamu ingin bisa mengerjakan soal uraian di Lembar Kerja Siswa.”



Juga pesan orang tua kita, “Sudah dibaca Al-Qur’annya, Nak?”



Hampir semua menyuruh untuk membaca. Termasuk perintah dalam Al-Qur’an yang pertama kali, yaitu terdapat dalam surat Al-Alaq ayat 1-5.

Iqra’ Bismirabbikalladzii kholaq. (Al-Alaq:1)

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan.”



Tuhan memerintahkan kita untuk membaca. Membaca apa yang kita lihat, membaca apa yang kita dengar sampai membaca apa yang kita rasakan. Tentunya dengan seluruh indra kita- sebagai makhluk Tuhan paling sempurna di dunia ini merupakan keniscayaan untuk selalu bisa membaca.



Beberapa hari yang lalu saya berjalan-jalan di Taman Flora, salah satu taman yang cukup besar di Surabaya. Dengan fasilitas yang cukup lengkap, salah satunya taman baca di tengah-tengahnya. Ruangannya cukup asri, buku-bukunya penuh, lantainya porselen berwarna putih bersih dikelilingi oleh pagar besi berwarna hijau tua. Rupanya suasana teduh disini tidak menggemingkan pengunjung untuk mampir atau duduk sejenak.



Hingga akhirnya, saya menjadi satu-satunya orang yang menyempatkan duduk dan membuka-buka jajaran buku di rak. Setelah saya tunggu beberapa waktu, masih tidak ada yang mampir juga. Baiklah, saya tunggu lagi sambil membaca buku resep-resep masakan. Saya berbaik sangka, mungkin sepuluh menit lagi akan ada orang yang melihat saya khusuk membaca dan akhirnya ikut membaca disitu. Tapi ternyata, sampai tiga puluh menit saya menunggu tidak satu pun yang ikut nimbrung bersama saya di taman baca.



Kekuatan untuk membaca buku rupanya tak lagi diminati, tak lagi terjamah oleh kalangan muda-mudi. Ya, mungkin itu karena mudahnya akses informasi yang sudah disediakan ‘mbah google’. Mungkin tayangan televisi yang bercorak hiburan mengalahkan semangat itu, atau mungkin ada yang lupa dengan pesan yang didapatkan saat menempuh sekolah dasar. Bisa jadi.


Lunturnya budaya membaca disebabkan oleh banyak hal seiring perkembangan zaman yang semakin modern. Informasi bisa didapatkan secara instan dari berbagai media. Tentunya hal ini akan berdampak pula pada pola pengetahuan yang terbentuk secara instan. Jika dibiarkan terus-menerus, pola yang terbentuk tersebut akan mengakibatkan ketidakseimbangan dalam budaya bangsa. Padahal, jika hal ini dibiarkan terlalu lama maka bangsa akan diisi oleh sumber daya manusia yang memiliki kemampuan kurang.

Perkembangan pikiran tidak terbentuk secara alami dan ilmiah seperti orang-orang yang gemar membaca. Hingga akhirnya sebaian besar penduduk yang tidak suka membaca memiliki kecenderungan apatis dan tidak mau tahu terhadap persoalan bangsanya. Sehingga membawa pengaruh negatif terhadap kecintaan terhadap bangsa dan perkembangan di Indonesia. 


Lahirlah Budaya Nasionulisme


Alladziii ‘allama bil qolam. (Al-Alaq:4)

“Yang mengajar manusia dengan perantaran kalam (pena).”



Masih dalam surat dan perintah yang sama. Setelah perintah membaca, perintah yang ke dua adalah perintah untuk menulis. Membaca dan menulis merupakan suatu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan. Setelah manusia bisa belajar membaca, maka ia akan belajar untuk menulis. Sayangnya menulis masih dianggap sebagai suatu kemampuan yang sepele, membosankan dan tidak bermanfaat. Tapi sebetulnya di era informasi ini, kemampuan menulis merupakan suatu hal yang penting seperti halnya membaca dan berhitung. Oleh karena itu terdapat dalam kurikulum saat pembelajaran tingkat dasar. Siswa diberi pembelajaran mengenai ‘calistung’ yaitu membaca, menulis dan berhitung. Selalu berurutan setelah membaca maka hal yang dilakukan setelahnya adalah menulis!


Indonesia perlu menerapkan budaya nasionulisme. Sebuah bentuk nasionalisme dalam hal budaya karena ditumbuhkan dan berpijak atas dasar budaya. Nasio yang berarti Negara atau bangsa. Nulis atau menulis merupakan kata kerja untuk menuliskan suatu gagasan, gambaran, karya, cerita dan apapun yang dapat ditulis. Isme yang berarti paham atau sebuah anutan yang dilakukan secara berulang-ulang.


Tidak usah muluk-muluk, nasionulisme ini dapat kita artikan sebagai budaya menulis yang harus ditanamkan untuk bangsa ini. Karena dengan adanya budaya menulis secara tidak langsung akan membangkitkan budaya baca di tanah air. Menulis merupakan suatu keterampilan yang diawali dengan membaca, jika orang mampu menulis berarti ia telah membaca dua kali. Jika semua hal-hal positif dapat dituliskan oleh semua lapisan masyarakat maka hal ini dapat menjadi kekuatan tersendiri untuk karya negeri.


Hampir di setiap kota-kota besar di Indonesia diduduki oleh penerbit-penerbit besar. Jika belum ada penerbit besar, bisa dipastikan seluruh kota besar di Indonesia mempunyai banyak sekali self publisher atau yang lebih dikenal sebagai penerbit indie. Nantinya, kelompok-kelompok penerbit di setiap kota tersebut bekerja sama dengan pemerintah untuk menaungi dan menjadi penanggung jawab karya-karya tulis yang sudah dibuat oleh seluruh lapisan masyarakat.


Dengan menulis juga dapat membantu memecahkan masalah. Ketika terdapat masalah kebangsaan atau birokrasi yang sulit kita pecahkan. Maka hal itu bisa dituangkan dalam bentuk tulisan. Dan siapapun yang ingin menuliskannya merupakan kebebasan setiap makhluk yang mendapat perlindungan oleh Negara.  Pun juga cara seperti itu akan lebih memudahkan dalam melihat duduk permasalahan dengan tepat yang pada akhirnya bisa memberi pemecahan yang tepat pula. Kita bisa bayangkan, ketika tidak hanya kalangan pelajar saja yang bisa menulis. Tetapi dari berbagai kalangan, tukang becak menulis, buruh menulis, anak jalanan menulis. It’s wonderfull nation!


Jika ada Duta Baca Nasional, mungkin setelah ada nasionulisme ini akan ada Duta Tulis Nasional? Jika sekarang budaya membaca telah luntur, mudah-mudahan setelah ada budaya menulis di Indonesia, budaya malas membaca itu segera musnah. Karena lahirnya dua budaya itu kembali akan menjadi kenikmatan tersendiri dan juga menambah khazanah ilmu pengetahuan kepada seluruh rakyat Indonesia.


Ayo budayakan menulis dan bangkitlah budaya membaca di Indonesia!


-Merupakan salah satu karya untuk Lomba Essai di Tempo Institute 2013-

Komentar

Postingan Populer