Ini tentang Pilihan
Aku sadar betul dua digit terakhir di pojok
kanan atas agenda coklat tua itu kini telah berganti. Aku sadar betul mungkin
waktu untuk melihat binar itu secara rahasia tinggal beberapa saat lagi. Lalu
akan hilang selip pandang di persimpangan waktu, tak ada kilas senyum di
persimpangan kalbu. Entah selamanya atau sementara aku tidak tahu. Aku
menyiapkan segela kemungkinan apapun yang terjadi termasuk melalui cara yang
satu ini. Aku diam membisu.
Lagi-lagi ini soal memilih. Sesuatu yang tak
akan pernah lepas dari kehidupan. Tanyakan pada dirimu sendiri. Jika masih ragu
tanyakan lagi pada relung terdalammu. Jika belum tahu maka sekarang atau lusa
kamu akan tetap memilih. Aku sadar betul. Lagi-lagi aku meyakinkan diri ini
bahwa keadaan sadar masih dalam pelukan jiwa, aku akan memilih.
Satu minggu yang lalu mereka memilih bicara pada
luas samudera tentang orang yang mereka cintai. Dunia menyaksikan, langit biru,
debur ombak, iringan angin darat, juga sekeliling mereka yang acuh. Mereka
bilang ritual itu adalah do’a. Jadi untuk apa takut diucapkan, bahkan
diteriakkan, karena mereka percaya Tuhan mengamini dan malaikat disekeliling
pun turut bersuka cita.
Aku berjalan mundur ke belakang, pelan-pelan aku
menjauh dari kerumunan mereka yang berdiri agak menengah ke laut. Sekarang aku
sudah sampai atas, memijakkan kakiku di gundukan pasir putih nan lembut yang
belum pernah aku jumpai sebelumnya.
Aku menyaksikannya dari jauh. Kedua tanganku
menyilang di dada, jilbab dan rok panjangku bergerak-gerak searah angin. Aku
menyembunyikan pandanganku dibalik kacamata coklat pemberian mama dahulu.
Satu dari mereka menengok ke arahku, sahabatku
itu mengacungkan satu jempolnya, lalu kemudian membaliknya ke bawah.
“Cemen!” aku melihat gerak mulutnya dari jauh.
Ini soal pilihan. Walaupun seisi dunia tahu akan
pilihan hati ini, apa dunia pula yang akan membenarkannya? Senyumku ke arah
mereka mulai menyembunyikan debur linang di pucuk-pucuk mata.
Awan tetap berarak, angin tetap terasa meniup
tempat dimana aku berdiri, gemuruh dari lautan itu seraya bertambah hingar.
Jika mereka meyakinkan diri dengan teriak sekencang itu, maka yang ku lakukan
sama. Aku meyakinkan diri dengan teriak kencang ucapkan do’a-do’a indah yang
tersimpan rapi di dalam sini, mengusahakan seirama dengan degup, senada dengan
suara angin, seharmoni dengan arah gerak awan.
Hanya saja, jika harus memilih, aku memilih
menyimpannya dalam diam yang teramat dalam. Jika sampai mati aku belum bisa
ucapkan dengan lantang kepada siapa pencuri hati ini. Aku akan tetap
menyimpannya dalam-dalam, bahkan lebih dalam dari dasar air sumur, lebih dalam
dari dasar lautan di depan kita, lebih dalam dari yang kalian tahu. Aku
berbalik ke belakang secara cepat sembari mengusap rembesan air mata yang
ternyata sudah sampai di pipi.
Namun aku yakin, Tuhan mendengar apa yang aku
minta, meski angin tak tahu, meski ombak tak mendengar, langit tak menyaksikan,
awan tak menebak. Namun Tuhan pasti mengabulkan, kalau hati telah jatuh cinta karena
waktu telah ciptakan cerita.
Dalam diam atau lantang, sama saja. Semua ini
tentang pilihan, Dia pasti tentukan saatnya.
(030114,16:57)
Komentar
Posting Komentar