TJINTA





Banyak yang bilang, sesuatu yang terlihat sudah terlalu lama berusang itu kuno. Termasuk bilang cinta saat usia mulai menginjak 50 tahun. Kuno?

Bagi orang tertentu saja. Sepertinya tidak bagi kedua orang tuaku.

Tidak dipungkiri. Sebagai anak, risih rasanya melihat yang kuno-kuno itu berseliweran depan pandangan. Sekali-dua kali, bosan. Lama-lama, aku dibuatnya tercengang.

Cinta ternyata bukan hal yang bisa habis kenamaannya, cinta tetap cinta. Ya, bagiku. Aku sering menyebutnya begitu. Dengan banyak hal yang berbeda ku lakukan serupa. Dengan banyak orang disekelilingku, selagi bisa. Selagi merpati masih dalam kurungan. Alias kesendirian.

Haha, begitu juga dengan kopi hitam pagi ini yang sedikit meluber di sebelah bibirku. Aku 
tersenyum tipis dan kemudian mengusapnya. Expresso.

Seduhan favorit di minggu pagi. Disaat mereka, juga merayakan Tjinta.

Aku cukup kaget, saat mengetahui mama tak ada di kamarnya pagi ini.

Teh hangat di hari ke tujuh ini, lalu untuk siapa? Aku meletakannya di meja.

Jawaban itu.
Ku dapatkan di saat yang sepertinya susah ku bayangkan.

“Mama kemana?” . Kakak

“Jalan-jalan.” . Adik.

“Apa? Sama siapa?” . Kakak.

“Udah nyantai aja, sejak subuh tadi sudah cantik, sudah wangi. Mau diajak ayah ke tempat jogging. Samping Masjid Al-Maghfiroh.” . Adik.

Aku berhenti bertanya. Mengambil sendok kopiku dan mendekatkannya ke mulutku lagi. Ah, belepotan lagi. Mungkin kopi pagi ini terlalu kental. Begitulah, jenis kopi ini memang sangatlah pekat. Sekali telan, bekas kopinya masih erat menempel di lidah. Seperti tjinta, yang kali ini terlihat begitu merekah. Kuno?

Aku sedikit meringis.

Dalam ruang yang berbeda. Mereka terlihat mesra.

Hampir satu putaran lapangan, mama berjalan dengan pelukan. Tanpa penglihatan.

Kuno?

Aku rasa, tetap saja.

Tetap disebut tjinta.

Aku mengambil teh dingin dari atas meja.

Rasa lekat dilidahku juga hilang.

Karena tjinta.

Komentar

Postingan Populer