Sepenggal Cerita "Kursi Kosong"
(Beberapa lembar cerita bagian atas tidak dicantumkan)
Jawaban terakhir darimu
seolah-olah menunjukkan bahwa kamu tidak datang. Aku mendekatkan bibir gelas di depanku ke bibirku. Tetap masam. Aku sempat berpikir akan pesan minum lagi
dengan rasa yang manis. Tapi, sudahlah. Aku segera putuskan untuk memesan satu
piring cumi asam manis. Aku kira, sudah cukup melengkapi rasa masam dari dalam
gelasku. Aku menunduk, sambil terus mengaduk-aduk.
“Ada orangnya?” lelaki muda seumuran
denganku menarik kursi di depanku.
“Iya, Mas. Maaf. Sebentar lagi dia
datang.”
Dia mencari kursi
kosong lainnya sambil wajahnya tampak malu memandangku. Lelaki muda itu datang
bersama seorang perempuan sebaya juga dengannya. Usai lelaki itu mendapatkan
satu kursi lagi, ia menyilahkan duduk perempuannya dengan cantik seperti di
film-film roman barat. Lantas mereka tidak segera memesan makanan, tangan si
lelaki menggenggam tangan wanitanya dengan pandangan mata yang mengajaknya
bicara, mulutnya berbisik, tidak lama mereka terbahak bersama-sama. Sepertinya,
makan siang mereka bukan poin utama, terlihat dari cara berbincangnya yang sangat
puas. Pemandangan ini, terlihat olehku dari arah jam dua. Seharusnya, ibu-ibu
beranak banyak itu menyaksikan pemandangan seperti ini dari meja makanku, sayangnya
sekarang makan siang bersama keluarga kecilnya telah selesai. Aku menunduk
sambil berpura-pura memainkan hape untuk menutupi kemaluanku atasnya.
Seharusnya, tadi aku bisa meminjamkan kursi di hadapanku ini untuk beberapa
waktu.
Pesananku datang. Nasi
putih dengan cumi asam manis. Bentuk nasi putih yang khas dari resto ini
membuatku tidak tega merusaknya. Kamu cepat datang, sebelum nasiku akan berubah
bentuk untuk beberapa menit ke depan. Gumamku dalam hati dengan perasaan yang
selalu mencoba menenangkan diri.
Aku melihat arah jam
dua belas. Pintu itu masih dilewati lalu lalang orang yang tidak ku kenal.
Namun kamu belum nampak juga, kamu pasti datang kan?
Satu piring cumi asam
manis ini sudah tidak berasap. Bunyi perutku juga sudah sedikit nyaring. Tenang
saja, hanya sedikit nyaring. Ku pastikan tetanggaku di samping ini tak
mendengar bunyinya. Seketika itu, aku teringat secangkir coklat panasku yang
tertinggal di meja kamar sendiri. Akankah kamu juga sudah tak berasap? Aku
mulai sedikit cemas.
Rasa laparku ini tidak
bisa dibohongi, maafkan aku kalau nanti saat kamu datang nasi ini sudah tidak
sempurna bentuknya. Aku mulai memakannya perlahan. Memotong sedikit demi
sedikit butir nasi yang mulai tampak dingin. Dengan mata yang selalu melihat ke
arah jam dua belas. Akhirnya, nasi ini ku potong mulai dari pucuk. Saat
sendoknya mulai menyentuh dasar piring aku menyadari ketidakpastianmu datang.
Aku mendekatkan suapan pertama ini ke mulut, gerakan sendokku saat menyentuh
ujung gigi ini terlalu keras. Bagaimana rinduku bisa meretas perlahan kalau
kursi di depanku tetap kosong? Kamu pasti datang kan?
Aku menelan pelan-pelan
walau sedikit tersedak kesakitan yang memasung di pangkal tenggorok. Suap demi
suap nasi ini terkunyah begitu saja. Waktu secerah tadi menjadi berlalu begitu
saja. Rasa cumi asam manis yang ku bayangkan beraroma wangi dan beraneka rasa
jadi biasa. Lagi-lagi aku menggumam, “kamu pasti datang kan?” Setiap gumpalan
nasi ini menyentuh bibirku aku merasakan kelu selalu menghinggap di lidah.
Untuk mengecapnya pun aku tak bisa merasakan apa-apa. Mungkin terlalu asam,
mungkin terlalu manis. Atau mungkin hampa rasa karena sesuatu tak terisi tepat
pada waktunya. Rasa rindu dan harapan yang meluap tak akan se-hebat ini kalau
bukan kamu orang yang ku tunggu.
Nasi berbentuk hati ini
sudah hampir habis.
Padahal nanti, aku
ingin menjadi satu-satunya wanita yang menyambutmu dengan senyuman termanis
saat wajahmu terlihat dari balik pintu kaca itu. Setelah kamu duduk dan sedikit
merapikan kemejamu, kamu bebas menceritakan kesibukan-kesibukanmu selama satu
periode ini. Kamu bebas berkeluh kesah apapun, tertawa renyah atau sekedar
melirikku syahdu. Kamu bebas meminta rencana-rencana sederhana yang akan kita
rancang bersama untuk pernikahan kita. Sehingga rasa rindu diantara kita
sama-sama meleleh dan lebur diantara butiran-butiran nasi berbentuk hati, asam
manis cumi dan legit juice strawberry
yang berubah rasa seketika kamu tiba.
Sekarang, nasiku sudah
habis. Seketika langit terlihat menangis. Orang-orang ini juga melihat kalau tangisannya
hinggap di pintu kaca satu persatu, apa cuma aku saja yang melihat? Kalau
nantinya kamu datang terlambat disaat makanan ini habis, tidak apa. Akan ku
ceritakan bahwa makan siangku kali ini habis tak bersisa. Walaupun kamu tidak
tahu bentuk nasinya seperti apa. Tetap akan ku ceritakan. Kamu pasti senang
mendengarnya bukan? Semoga, tangisan langit ini tak mengganggu perjalananmu
menuju kemari.
“Sepertinya aku tidak bisa datang, acaraku masih lama. Maaf.”
Butuh waktu yang cukup
lama saat membaca pesan masuk darimu kali ini. Tapi aku berusaha dewasa dengan
cepat membalas “Iya.” Kalau meja dan kursi ini bernyawa, aku tahu mereka akan
tertawa.
Aku mengambil tisu
sehelai dari kotak persegi di atas meja. Menempel-nempelkan ke samping bibirku
sekali dua kali sambil menutup pesan masuk darimu. Perutku masih terasa
kenyang. Tapi rupanya aku tak boleh disini terlalu lama. Cahaya lampu yang
berwarna kuning ini sedikit mengganggu perasaan kenyangku. Aku pikir, cahaya
semacam ini ini tidak begitu bagus untuk dinikmati sendiri. Ah, rupanya ini
hanya seperti diorama. Aku memberikan sejumlah uang kepada pelayan resto dan
berjalan lurus tanpa menengok kembali seisi ruangan. Bersama derap langkah yang
sedikit balapan dengan gemuruh hujan. Senyumku tetap menjuntai menjabat ke luar
ruangan.
Sebelum tangisan langit
bertambah deras, aku putuskan untuk kembali pulang. Sialnya, jas hujanku ketinggalan. Mungkin
sudah waktunya langit mendapat teman agar ia tak menangis sendirian. Jika
langit tetap menangis sendiri pun dia mendapati ada seorang manusia yang
menikmati tangisannya di bumi.
Aku berharap saat aku
kembali menyalakan lampu kamar nanti, coklat hangatku masih berasap. Tapi saat ku
kembali pulang, bergegas ke kamar, menyalakan lampu kamar dan ternyata, ku
dapati coklat panasku telah mengendap, tak lagi berasap.
Sebenarnya, aku berfirasat
kamu tidak sempat datang
Di kencan
pertama kita siang ini.
Namun, aku tahu
kamu pasti datang
Di kencan-kencan
berikutnya setelah kita sah nanti.
Kamu pasti
datang kan?
(Cerita ini dilombakan dalam ajang kompetisi Cerpen bergenre Romantika)
Komentar
Posting Komentar