Hujan di Bulan Juni




Sudah hampir dua minggu Mama di rumah sakit. Mama masuk rumah sakit lagi karena ketidaksadarannya seperti beberapa bulan lalu. Chronical Kidney Disease stage IV, sebagai akibat dari komplikasi Hipertensi dan Diabetes Mellitus dengan Retinopathy Diabetic.

Berawal sejak sepuluh tahun lalu, tiga tahun lalu, satu tahun lalu, akhir Maret, akhir April, akhir Mei dan sampai sekarang. Aku berharap, akhir Juniku baik-baik saja. Tidak ada ritual berlari-lari ke UGD, ke Laboratorium, ke Apotek, ke tempat foto copy, ke tempat pengendali rawat inap… tidak ada.

“Tidak apa-apa kan Tuhan?”

Air mataku jatuh membasuh pipi yang kering. Seiring tetes-tetes air hujan ini semakin deras menyentuh pucuk bunga yang masih kuncup. Di teras kecil ini biasa ku habiskan waktu duduk agak lama. Walaupun untuk sekedar menikmati hembusan nafas, menikmati sajian warna dedaunan, warna bunga menyala atau menjawab sapaan tetangga yang singgah.

Biasanya aku tidak sendiri, tapi bersama Mama. Memulai obrolan ringan, dengan sepiring pisang goreng rasa keju, sampai obrolan agak serius mengenai masa depan. Tidak kenal gelap-terang permukaan langit. Kami habiskan waktu berlama-lama. Bahkan, rencananya, nanti kalau aku sudah bekerja, tanaman di pot-pot ini akan aku tambah jumlahnya. Biar teras depan penuh bunga seperti teras dambaan Mama.

Kami mempunyai impian, tidak hanya bunga yang berwarna merah saja yang akan tumbuh di sini, namun ada ungu, hijau muda, oranye, biru sampai merah jambu.

Hidup haruslah berwarna.

Kalau menurut perhitungan Fisika, seharusnya saat ini adalah  musim ke tiga. Kemarau.

Namun, kali ini hujan turun. Mama masih terbaring lemah di rumah sakit. Bahkan saat ini, tentang cerita bunga itu, hanya bisa dinikmatinya dari mulutku.

Aku bilang, “Bunga berwarna merah itu kini sudah tumbuh, satu.”

“Pasti bagus sekali.” Tandasnya dengan suara parau dari atas bebaringannya.


Aku tertegun. Mengelus-elus rambutnya ke arah atas. Mata Mama berkedip pelan-pelan. Pandangannya kosong. Tak mampu menerawang waktu, akankah hari sudah gelap ataukah masih terang. Setiap detik bagi Mama adalah gelap. Tapi, aku selalu menceritakan keadaan yang berwarna.

Salah satunya, ada warna baru untuk setangkai bunga di teras rumah. Oranye.

Tadinya, aku menyirami bunga itu pagi ini. Setelah memasak beberapa ikan Mujair goreng untuk sarapan pagi mereka, adik-adik di rumah dan Ayah yang sedang jaga di rumah sakit. Tapi hujan mendahuluiku. Tuhan hanya ingin kuncup-kuncup bunga ini bermekaran lebih cepat dari pada waktu.
 
Kata Tuhan kepada daun, “Akan ku buat engkau menghijau kembali sebelum menguning…”

Sedang kuncup-kuncup ini akan tumbuh sesegar telaga surga disana. Walaupun sebenarnya, ada rasa sakit pada setiap sisi kelopak yang masih menguncup, sentuhan air hujan begitu menghujam, dia cuma bisa berharap mentari cepat datang, sekedar memberikan kehangatan walaupun tidak pernah membentuk pelangi. Yang berwarna sempurna.

Tapi aku harus percaya, kuncup-kuncup bunga ini akan bermekaran lebih cepat. Lalu ku tautkan mimpi-mimpiku bersama tetes hujan ini yang membersamainya. Aku berharap, Mama bisa melihat lagi, sehat seperti dulu dan hadir dalam wisuda kesarjanaanku.

Setelah kemarau berlalu, penghujan datang, mereka bermekaran, mewarnai hidupku menjadi lebih indah.

Ya, lebih indah.

"…dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (Q.S Al-Anfal: 46)

Komentar

  1. Tulisannya benar-benar bagus dan tulus dari hati.. teruslah berkarya.. kuberharap Indonesia akan mempunyai seorang penulis terkenal yang bernama Dewiyana..

    BalasHapus
  2. Aamiin Ya Robb.. Terima kasih atas doa dan support-nya. Sukses terus untuk bapak juga, mari saling menginspirasi... See you on top.. Insya Allah

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer