Rindu dan Kota Tua

sampaikanlah pada ibuku
aku pulang terlambat waktu
ku akan menaklukkan malam
dengan jalan pikiranku

sampaikanlah pada bapakku
aku mencari jalan
atas semua keresahan-keresahan ini
kegelisahan manusia

tak pernah berhenti berjuang
pecahkan teka-teki malam
tak pernah berhenti berjuang
pecahkan teka-teki keadilan

akan aku telusuri, jalan yg setapak ini semoga ku temukan jawaban
[GIE]

Di dalam sebuah museum kota tua, gadis itu tampak merasa keberatan dengan tas ransel berisi lap top yang dibawanya. Selangkah demi langkah dia jajaki satu persatu. Matanya perlahan mengelilingi seisi ruangan di dalam kota tua ini. Di sela-sela tiang berbelut tembok tua itu, terlihat sepasang anak SMP yang sedang kasmaran. Tepat di sudut seratus delapan puluh derajat, ada sepasang calon pengantin yang sedang mengambil foto pre-wed yang asik bergaya. Dan di meja kayu berwarna coklat yang berbentuk lingkaran itu, sekelompok ibu-ibu metropolitan sedang tertawa terpingkal-pingkal bercanda dan tampak ribet dengan bocah kecilnya.

Jangan menoleh kebelakang, gumamnya.

Belakang adalah sebuah ruas jalan kota tua dengan segala reniknya, masalahnya, bunyi dan sekomplotannya. Runyam!
Menyesuri suatu tempat, melwati tangga yang melingkar ke bawah, berbalut debu tipis dan udara sedikit pengap, mereka bilang bawah tanah. Gadis itu memilih berjalan ke tengah, dimana ada sebuah taman yang sangat rindang, dihiasi ayunan di sudut taman, ada sepetak panggung di ujung taman untuk menggelar acara seni seperti teater, musikalisasi, akustik atau tempat untuk pengiring musik acara pengantin ala garden party. 

Daun yang berguguran itu, mereka gugur begitu saja. Angin yang berterbangan itu, mereka mengalir begitu saja. Air yang bergemericik itu, mereka jatuh begitu saja. Jika alam bisa berbahasa, sebenarnya kesunyian itu nyawa.

Lihatlah dibalik tembok putih besar itu, tidak ada kabut, hanya berisi kemelut dalam sebuah kota tua. Satu petak yang bernama kota tua ini, tetap mempunyai dua sisi penghidupan. Dalam yang berarti ketenangan, kedamaian, kepolosan. Luar yang juga jujur dengan keramaian, kecarutmarutan, ketundukan pada penguasa. 

Masih di kursi santai yang sama, gadis itu mengeluarkan buku agenda berwarna biru tua kepunyaannya. Biar kota tua ini tahu, bahwa dia tengah menyimpan rindu yang angin dan daun telah tahu lebih dulu. Lalu?

Ya Allah, tanpa bicara pun sesungguhnya Engkau tahu, apa isi hati ini.
Engkaulah yang Maha berkehendak tentang apapun yang tidak ku ketahui.
Engkaulah yang Maha menggenggam seluruh ruh dan jiwa seorang manusia.
Engkau pulalah yang memilihkan kejutan terbaik untukku, keluargaku juga masa depanku, kelak.
Bolehkah sejenak, aku tertunduk malu?
Bahwa angin yang aku rasakan ini dapat meneduhkan, maka Engkaulah yang meneduhkannya.
Bahwa udara yang aku rasakan ini dapat menyegarkan, maka Engkaulah yang menyegarkannya.
Bahwa perasaan yang hening dan begitu lembut ini ada, maka Engkaulah yang melunakkannya.
Karena Rahman-Rahiim Mu, karena perlindungan Mu juga karena Rahmat Mu.
Titipkan rindu yang menggebu ini untuk ibuku, ibu yang sekarang berada dipelukanMu lebih dulu.
Titipkan rindu yang berdesir lirih ini untuk ayahku, ayah yang do'a-do'anya menjadi pengiring langkah kakiku.
Ya Allah maka tidak ada yang bisa aku lakukan lagi, selain terus memohon ampunan dan ridho dari Mu.

Pada halaman ini, buku agenda biru tua ini telah terisi. Gadis itu akan segera pergi dan kembali di lain mimpi.

"Ah, aku terjebak dalam kota tua. Kota yang bagiku hanya bentuk dan namanya saja yang tua, 
namun semangatnya, muda membara."



29 Januari 2015,
Di sebuah Museum Kota Tua, Jakarta.



Komentar

Postingan Populer