Keberhasilan Awalku ini, Untuk Ayah dan Ibu

Dua Tahun Lalu..

Meskipun tidak berhasil melaksanakan wisuda periode pertama, aku sangat bersyukur masih bisa lulus tepat waktu. Semuanya bisa terjadi atas kehendak Tuhan dan doa Ayah dan ibu. Sudah hampir satu tahun ini aku menjalankan tugas sebagai pengganti ibu, sejak penglihatan ibu sudah tidak lagi berfungsi karena kebutaan dari komplikasi diabetes yang dideritanya.

Menjalankan tugas-tugas ibu memang tidaklah mudah, apalagi tugas seorang Ibu tidak hanya sekedar menyelesaikan semua pekerjaan rumah. Tidak hanya bersigap bangun pukul 03.00 pagi, membuat sarapan pagi, beres-beres rumah, menyiapkan pakaian bersih rapi dan sebagainya.
 
"Karang di lautan setiap saat akan bertemu ombak, namun ia tidak akan lari, hadapi."
 
Itu yang selalu mereka bilang. Lembutnya sinar mentari pagi yang saat ini menyentuh kulitmu, seperti itulah kehangatan dan kelembutan yang mereka ajarkan.

1 November mendatang, anakmu telah sarjana...

 


Aku akan diwisuda di Auditorium megah bertahta dan dipanggil sebagai salah satu wisudawan penerima beasiswa.  Namun kali ini, tidak ada yang istimewa tanpa kehadiranmu, Ibu.

Bukan kah hal ini yang hendak ku persembahkan untukmu?

Dari kejauhan tempatku berdiri, hanya ada Ayah yang sudah menjadi manusia ganjil dalam wisudaku kali ini. Wisuda yang tepat dilaksanakan tujuh hari sejak kepergianmu ke surga lebih dulu. Hanya linangan air mata dan doa yang tak pernah habis ku racau saat aku berdiri tegap diantara ribuan wisudawan yang memenuhi ruangan ini. Impian bisa memelukmu dan mencium tanganmu kini telah usai. Namun aku yakin, aliran doa dan semangat yang engkau ajarkan akan membuat jiwaku kokoh tak tertandingi.
 
"Maafkan Ibu, kalau tidak bisa hadir di wisudamu esok, Nak. Yang ikhlas ya…"
 
Kata-kata yang sempat engkau ucapkan sehari setelah aku dinyatakan Lulus dari sidang skripsi. Kalimat itu terus terngiang bersama dengan tetes air mata yang selalu gagal kubendung. Tapi tak apa, terkadang aku memang harus belajar tentang suratan takdir. Terima kasih, aku yakin bahwa doa-doamu yang telah mengantarkan keberhasilan awalku.
 

Frontliner Terbaik itu, Anakmu...



Masih segar dalam ingatan saat usaha untuk mencari beasiswa kuliah lima tahun lalu, selalu ada dukungan dari Ayah dan Ibu. Ku lihat mulut dan mata ayah dan ibu mengerling, tidak kuasa membendung semangatku untuk terus membuat guratan senyum di pipi. Aku berjanji, tidak akan cepat menyerah dengan keaadaan yang serba susah dan membuat kita miskin.  Sebisa mungkin aku ingin membuktikan kepada ayah dan ibu bahwa sekarang, aku diterima di salah satu perusahaan BUMN terbesar di Indonesia. Ucap syukur dan keinginanku untuk membahagianmu tidak berhenti sampai di sini. Di tahun pertama aku bekerja kini, aku telah menjadi frontliner terbaik se-Area Jakarta Sudirman.

 

Ayah...Ibu..


Saat ini aku kembali menggigil saat namaku disebut sebagai juara pertama dalam kompetisi nasional untuk para frontliner. Tubuhku kembali mengerdil saat aku ingat bahwa ayah dan ibu kini sudah tak bisa mendampingiku menemani perjuanganku. Komunikasiku dengan ibu hanya bisa terucap lewat doa dan ayah yang jauh hanya bisa lewat telfon genggam. Tapi aku selalu yakin, orang tua yang aku miliki adalah Mahakarya Tuhan yang paling hebat untukku. Gontai langkah kakiku menguat saat berjalan ke atas panggung dan menerima piagam penghargaan ini.

Aku ingin menangis sejadi-jadinya, tidak kuasa menahan luapan rindu yang menggebu, tidak kuasa ingin memeluk tubuh ayah dan ibu. Aku ingin menyampaikan ini ke surga dan ingin menyampaikan ini ke ayah yang telah berada jauh dari tempatku berdiri. 

Ayah...Ibu..


Bukanlah hal yang mudah ketika aku harus tersadar bahwa aku telah berjalan sendiri, nanti. Bukanlah hal yang mudah ketika aku harus tersentak oleh petir dan ombak yang kadang kita tak tahu dia akan menghampiri. Bukanlah hal yang mudah ketika lelah dan harus terjerat rindu bahwa masing masing engkau telah jauh. Bukanlah  hal yang mudah ketika harus merapikan kenangan kecil satu persatu dan menyimpannya dalam-dalam.

Kerjakerasmu untuk membentuk mental bajaku akan aku balas dengan karya karya kecil yang kelak bisa menjadi sebuah mahakarya. Perlahan lahan, semoga hal ini bisa menjadi mahakarya sesungguhnya. Mahakarya yang engkau ajarkan, yaitu ketulusan dan kegigihan yang terus menerus, selalu hidup dan tak lekang oleh waktu.
 

Tetaplah hadir di setiap mimpi yang telah aku tautkan. Tetaplah hadir membelai perjalananku, karena aku sudah berjanji akan membuatmu selalu tersenyum. Tetaplah mengalir di sepanjang darahku, karena jiwamu akan kubawa hidup meraih cita-cita yang luhur. Inilah prosesku, menjadi seseorang yang tak mudah goyah, yang punya semangat terus berkarya untuk bangsa.
  Terima kasih ayah dan ibu, keberhasilan awalku ini semoga menguatkan langkahku untuk membuat mahakarya sesungguhnya.

Kompetisi Mahakarya Ayah Ibu oleh Semen Gresik Indonesia. 

Komentar

Postingan Populer