Cinta, Rasa dan Anugrah



Jika pada sebuah cerita adalah diksi. Sama halnya dengan musik, adalah nada…



Kini ia percaya, hati pun dapat berdenting membentuk sebuah bangunan nada yang utuh. Dawai terakhirnya, yang ku dengar adalah lagu milik Adele ‘some one like you.’

Entah apa yang ada di pikirannya, aku juga tidak seberapa paham dengan lakunya yang sangat membisu. Yang pasti, alunan tangannya ketika memainkan piano tua itu begitu berbicara walau tak sepatah kata pun keluar dari bibir mungilnya.

Ya, telingaku seolah tergelitik oleh dawai yang berbunyi dalam-dalam itu. Sementara ia tetap melanjutkan nada demi nada yang berbunyi tipis, tinggi tetapi menggenapi, telah berdentum di sela-sela gerimis sore ini.


Kita memang tak pernah tahu apa yang dirindukannya akan sesuatu yang tiba di depan mata. Kita juga tak pernah menyadari ketidaklengkapan diri hingga bersua dengan kepingan diri yang tersesat dalam ruang waktu. Dan ia percaya kini. Ketika keadaan hatinya sedang dibuat carut marut oleh ketidakjelasan makna dan cinta.

Bukan waktu yang mendominasi hanya saja ini terlalu seperti regresi.

“Aku sudah menganggapnya sebagai teman saja, Nin..” Ucapnya memulai cerita saat jarinya menekan nada terakhir dari lagu some one like you.

“Hah? Why?” mataku terbelalak.

Dia hanya membalas pertanyaanku dengan senyumnya yang datar. Aku semakin bingung oleh tingkah sahabatku yang tak seperti biasanya ini. Dia membalikkan punggungnya dari hadapan piano dan meletakkan pandangannya tajam ke arah tempat dudukku.

“Kadang memang dia bisa membuatku terlalu berkhayal tentangnya, mungkin lebih tepatnya terlalu berharap tentangnya. Perhatiannya, cara bicaranya, bahkan dengan sesuatu yang disebut dengan PDKT-nya. Dia, mungkin juga merasa kalau aku menyukainya. Hampir setiap hari dengan sengaja aku mengutit social network-nya, bahkan blog dia semasa SMA yang sudah usang itu, aku hafal benar isinya. Dan sepertinya sekarang dia sedang dekat dengan seseorang….” Ucapnya lirih pada kalimat terakhir.

“HAHAHAHA” kelakarku dengan nada setengah meledek.

“Ih, kok malah ketawa sih…”

“Abisnya, lucu sih! Emang kapan jadian???”

“Yaaaa,.. nggak pernah. Tapi kan.. tapi kan….” wajahnya mulai kebingungan.

“Tapi kan sudah dekat sekaliii. Hihihihihi.” Sahutku lagi dengan mencubit pipinya centil.

“Seminggu yang lalu, dia mengirim SMS yang isinya mau mengajariku belajar nyetir mobil lagi. Waktu itu aku sempat loncat-loncat seperti seekor tupai kelaparan, senengnya bukan kepalang. Tapi ternyata nggak jadi karena suatu alasan tertentu yang yaah.. bisa dibilang masih excuse.” Bibirnya memeragakan emot titik dua tanda buka kurung.

Dia berbalik badan lagi dan dengan cepat jari-jemarinya meraih tuts putih dan memainkan melodi ‘canon in D’ milik Johannes Pachelbel.

“Ditengah rintik hujan sore ini, lagu ini pas banget…” katanya dengan nada setengah kesal.

“Untung aku tidak kenal siapa cewek yang sekarang dekat dengannya, jika aku tahu mungkin rasa sakitnya bisa melebihi ini, Nin.” Imbuhnya lagi.

Aku masih berusaha menikmati dentuman melodi dari jari-jarinya dan menjadi pendengar yang baik saat dia bercerita.

“Yah, mencintai adalah anugrah. Tapi proses dalam mencintai memang tidak seharusnya disertai dengan harapan yang terlalu. Karena berharap adalah awal kekecewaan. Sama halnya aku, yang selalu berusaha mencintainya dengan sederhana. Tanpa tahu ujung dari kisah cinta sendiri kemana akan berlabuh. Sepintas, kasus kita memang terlihat sama. Dekat diawal hingga pada prosesnya, ending-nya… Fuihh, kita tidak pernah tahu kalau ada hati lain yang dipilih untuk bersamanya.”

Dia tersenyum sendu, berlari menyeruduk ke tempat dimana aku duduk dan kemudian memelukku. Aku merasakan kesedihan yang sama pada saat itu. 

“Tau nggak, ketika bermusik aku tidak pernah membiarkan jariku bekerja sendiri. Mataku, badanku, gerakanku, jiwaku, perasaanku semua membantu dalam penciptaan harmoni nada yang sempurna. Begitu pula dalam mencintai, aku selalu membuat semua yang tidak sama, semua yang mempunyai ritme hidup yang berbeda aku berusaha menjadikannya  satu, padu. Tapi aku sering melupakan bahwa sejatinya nada bukanlah sesuatu yang bisa dipaksa, melainkan di rasa. Padahal aku pun bangga jika pada lebaran tahun ini dia datang ke rumahku dan bersalaman dengan kedua orang tuaku yang baru datang dari Jakarta. Tapi…” bicaranya terhenti.

Come one! Sudahlah, hidup kita masih panjang sayang… kamu cantik, pintar, mempesona. Siapa sih yang nggak mau sama sahabatku yang satu ini.” Aku menabrakkan bahuku ke bahunya sambil sesekali tertawa geli di depannya. 

***

Kini aku semakin tahu, ketika orang-orang bilang bahwa kedua ujung kutub itu memang berbeda, saling tarik-menarik mencari sisi-sisinya.

Ketika sudah bertemu, ujung-ujung tersebut tak dapat dipisahkan. Meski begitu, tanpa kita sadari sering ada faktor lain yang menjadi kedua kutub tak saling tarik-menarik atau berfungsi pada salah satu ujung kutub saja. Hingga akhirnya kutub pefungsi lebih tertarik kepada ujung-ujung kutub lain yang bisa menarik dirinya.

Seperti proses yang boleh saja tak indah, tapi ‘cinta’ tetaplah ‘rasa’ yang disebut sebagai 'anugrah'.

Cerita ini permintaan dari seseorang, temanku, tersayang.
Asli betawi dia, sedang kuliah di Surabaya.

Komentar

Postingan Populer