Terkadang Aku Iri

Terkadang aku iri. Mungkin karena rasa lelah ini yang begitu membuncah. Atau perut ini yang berbunyi lucu. Seperti bunyi air yang sedang mengucur di sebuah water wall.  Juga rasa di bagian bawah kedua mataku yang setiap bangun tidur seperti ubur-ubur. Aku kurang begitu mengerti. 

“Aku heran ya, sama temen-temenku. Mereka ituuu pintar-pintar sekali. IPK kadang selalu diatas 3,5. Tapi kenapa, aku susah banget dapetin IPK segitu. Mereka itu terlalu rajin, menurutku.” Aku nyerocos kepada dua temanku yang sedang duduk disamping kanan dan kiri tempat aku bekerja.

“Ah, masak? Mungkin mereka sudah dasarnya pinter kali Nin.” Sahut Mas Anton dengan tersenyum.

“Tapi mereka itu terlalu serius kalau belajar. Setiap hari masak belajar terus. Aku aja baru belajar seminggu sebelum UTS atau UAS.”

“Kamu itu hanya sirik aja Nin sama mereka. Soalnya disaat mereka sedang enak-enaknya belajar di kamar atau ngerjain tugas, kamu malah ngasir. Malah berhubungan dengan kerjaanmu yang segudang itu di kantor. Kalau nggak nge-handle kasir kamu sibuk dengan ribuan lembar nota-notamu itu sampai malem. Melototin angka-angka sepanjang jalan yang akan diserahkan ke Bank. Iya kan Nin? Kamu iri kan sama mereka? Kamu iri juga nggak bisa nerusin organisasimu lagi di BEM Universitas?” 

Mas Anton menambahkan sambil matanya menatapku tajam.

Aku terdiam. Kemudian aku tersenyum tipis.

“Hahaa… mungkin???” Sahutku singkat.

Jawaban terakhir itu yang kemudian membuatku terdiam lebih lama lagi.

“Bagiku kamu cukup pinter kok Nin.” Icha, yang ada di samping kiriku mulai ikut bicara.

“Preeeeeeett.”

“Mungkin temanmu yang IPK-nya diatas 3,5 itu memang jago banget dalam setiap mata kuliah. Tapi soal tahan banting buat hidup mungkin elo juaranya Nin.” Lagi-lagi Icha ikut bicara.

“Iya… terkadang aku iri. Terkadang aku iri melihat mereka yang mungkin... hooooh!” aku melemas.

“Tapi kadang aku juga merasa, sudah berbuat apa aku ini untuk kampus? Dibanding teman-temanku yang setiap hari dikampus sampai malem. Mungkin aku tidak ada apa-apanya. Pilihan yang sulit ketika aku harus menerima pekerjaan ini atau meneruskan perjuanganku di BEM yang sudah ku jalani sejak tahun 2011. Tadi waktu HP-ku di tas, ada dua pesan dan dua panggilan tak terjawab dari Mas Rizal, Menteriku yang sudah ku anggap seperti mas kandungku. Biasanya sih, kalau dia sudah nelfon gitu tandanya kangen dan ada yang mau diobrolin. Dan kali ini, aku rindu mereka juga… .“ Aku menunduk.

“Mereka pasti ngerti kok Nin, wake up!”  

“Aku sendiri juga merasa bersalah jika ketika diundang rapat, aku selalu membalas, maaf aku nggak bisa datang soalnya ada agenda kerja yang tidak bisa ditunda. SMS itu tidak hanya sekali, tapi berkali-kali. Aku sampai parno dengan diriku sendiri. Takut nggak ada yang percaya aku lagi!” Mataku mulai berkaca-kaca.

“Dasar meloo!” Mas Anton mengejek kemudian tertawa.

“Apaan sih.” 

Aku mewek. Mereka menertawakanku.

“Boleh nggak sih, kalau aku bilang capek…” Aku merengek lagi.

“Bolehlah, asal jangan sering-sering tuan putriii. Cukup satu kali aja.” Icha mencoba menghibur.

“Emang kamu biasa tidur jam berapa Nin? Gini ini pulang ngantor nggak langsung bubuk emang?” Tanya Mas Anton.

Aku menggeleng pelan, “aku tidur jam satu, setelah mandi, sholat, makan, ngerjain tugas kuliah , selesai nulis terus baca-baca buku sebentar.”

“Terus gue harus bilang WAW gitu?”  Mas Anton meledek.

“Nggak perlu.” Aku melemas lagi.

Aku berjalan ke arah korden yang serupa korden di hotel-hotel berbintang. Berdiri menyandarkan badan dengan posisi miring dan membukanya perlahan. Mencoba meluruhkan lemasku ketika melihat suasana malam kota Surabaya dari lantai 20 dimana tempatku bekerja. Sungguh indah, membuat ubur-ubur di bawah mataku sedikit ikut lebur. 

"Aku rindu mereka." 

Sambil mengusap air mata di pipi, aku tersenyum sendu. Walaupun perutku tetap berbunyi lucu. Hati ini tetap mencoba berdamai dengan rindu.

Komentar

Postingan Populer