Mau Dibawa Kemana Jagad Perpolitikan Indonesia?


Astaghfirullah. Belum satu bulan Negeri ini menguak kasus suap impor daging yang melibatkan Lutfi Hasan Ishaaq (LHI), mantan presiden PKS bersama teman dekatnya, Achmad Fathanah. Lalu  muncul dugaan bahwa Menteri Pertanian Suswono juga ada dalam pusaran kasus dugaan korupsi terkait impor daging sapi tersebut. Karena secara tidak langsung, perusahaan yang terpilih mengimpor daging sapi harus mendapatkan rekomendasi dari kementerian ini. Kini, giliran Anas Urbaningrum (AU), Ketua Umum DPP Partai Demokrat yang kemarin (22/02) ditetapkan sebagai tersangka kasus Dana Hambalang oleh Komisi Pemberantas Korupsi (KPK).

Terkuaknya kasus AU tepat setelah Majelis Tinggi dan Presiden SBY melakukan intervensi tentang kejelasan status AU pada 4 Februari lalu. Disusul bocornya dokumen mirip Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (Sprindik) KPK ke publik beberapa waktu lalu yang sudah mengungkapkan status AU sebagai tersangka. Penulis rasa, ini bukan sekedar kecerobohan staf administrasi di kantor KPK. Tetapi ada aroma politis yang berdampak sistemik. Tentu saja proses hukum sebelumnya yang dijalani oleh AU bukanlah proses hukum biasa. Bisa saja ini disebut sebagai skandal.

Penetapan tersangka yang dilakukan kurang dari satu hari alias 1x24 jam oleh KPK, jelas cacat hukum dan tidak beralasan. Karena sebelum ditetapkan seseorang sebagai tersangka seharusnya dilakukan  penyelidikan terlebih dahulu yakni  mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana baru kemudian bisa meningkat ke penyidikan baru ke penetapan tersangka setelahnya. Jika benar adanya, semoga memang berdasar bukti-bukti yang cukup kuat, bukan karena tekanan penguasa ataupun fungsionaris partai yang bersangkutan. Wallahua’lam Bisshowab.

Terlepas dari benar atau tidaknya kasus yang terjadi, ada yang ingin penulis tanyakan kepada kawan semua. Mau dibawa kemana jagad perpolitikan Indonesia?

Hati kecil ini pilu rasanya jika ada yang berbicara jagad politik telah kiamat. Sejenak, jika diperhatikan. Rupanya sistem politik di Indonesia kini telah mampu meracuni sosok aktivis-aktivis besar yang mungkin tergoda atau terjebak dalam lingkaran korupsi. Tidak salah kalau Lord Acton mengatakan, “Power tends to corrupt, absolute power tends to absolutely corrupt. (Jawa Pos, 23/02). Ya, kekuasaan itu cenderung korup. Mari kita tengok lebih dalam lagi, para aktivis yang terlibat korupsi ini berasal dari banyak latar belakang organisasi yang berbeda.

Hampir semua organisasi kemahasiswaan dan kepemudaan memiliki alumnus yang terlibat kasus korupsi. Rasanya prihatin terhadap sistem politik dan kaderisasi kepemimpinan di Negeri ini.
Sudah seharusnya organisasi kemahasiswaan dan kepemudaan melakukan evaluasi program pengaderan yang mereka miliki. Sebut saja seperti HMI Dipo, HMI MPO, PMII, KAMMI, GMNI, PMKRI, GMKI dan sebagainya harus mampu mencetak kader yang kebal terhadap virus korupsi. Karena fenomena korupsi saat ini tidak hanya menjangkiti partai penguasa. Tapi hampir seluruh partai politik menyumbang tersangka korupsi.

Apakah kesalahan sistem? Supremasi hukum yang kurang bisa ditegakkan? Pendidikan karakter kebangsaan yang minim? Kurangnya kerja sama dengan lembaga keamanan Negara? Atau biaya politik yang sangat mahal?

Semua bisa menjadi penyebab korupsi, tidak hanya kesalahan organisasi atau individual. Salah satunya adalah belum adanya sistem regulasi pendanaan parpol.  Memang, UU Parpol dan UU Pemilu yang telah direvisi hanya mengatur soal batasan penerimaan sumbangan. Sementara untuk pengeluarannya tidak ada aturan. Persoalan tadi bisa jadi tidak terlepas dari akibat regulasi pendanaan parpol yang tidak jelas. Lemahnya regulasi bisa mengakibatkan tingkat transparansi dana partai menjadi rendah. Kelemahan regulasi terlihat dengan tidak adanya aturan standar pelaporan keuangan partai yang baku. Selain itu, regulasi yang berlaku juga tidak mencantumkan sanksi pelanggaran yang tegas.

Melakukan pembenahan keuangan parpol, bisa menjadi satu-satunya cara menyelamatkan tatanan kekuasaan. Karena itu, perlu digerakkan agar DPR dan pemerintah mau menyusun regulasi soal tersebut. Senada dengan yang disampaikan pengamat politik dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) Burhanuddin Muhtadi. Menurut dia, tidak adanya regulasi yang membatasi pengeluaran biaya politik menjadikan parpol tetap mengedepankan politik transaksional dan bergantung pada kekuatan modal.

Jangan heran, biaya politik di Indonesia ini sangat mahal. Ketika diperiksa. DPR yang terdiri dari pengurus partai ini memang belum menyediakan regulasi yang tepat untuk membuat adanya aturan hukum yang mengatur. Beberapa minggu lalu pada tayangan Indonesia Lawyers Club (ILC) juga diperbincangkan. Bukan masalah penegakan hukum tentang korupsi yang belum ada. Tapi aturan atau rule tentang regulasi biaya parpol yang tidak ada. Tidak salah jika kemungkinan untuk mengeruk uang APBN timbul di permukaan.
Seringnya, parpol tidak pernah transparan soal keuangannya. Banyak partai memiliki kegiatan yang menghabiskan banyak anggaran. Namun saat ditelusuri, sumber pendanaannya biasanya tidak jelas. Ini merupakan pekerjaan rumah bagi kita semua untuk membuat sebuah regulasi yang memperketat dan memperjelas sumber pendanaan parpol.

Karena hukum dibuat untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Ke depan, harus segera dipikirkan untuk menciptakan sistem politik yang murah. Dengan begitu para politikus tidak perlu korupsi untuk menjalankan aktivitas politiknya. Mudah-mudahan saja, dengan penguatan sistem regulasi pendanaan parpol akan mengurangi kejahatan korupsi sekaligus dapat menyelamatkan jagad perpolitikan Indonesia. [DN]

Penulis adalah Ketua Komisi 2 BLM FKM UNAIR 2013: Undang-Undang dan Produk Hukum

Komentar

Postingan Populer