Menjadi yang 'Mengerti'
Apa
yang bisa dilakukan seorang anak kecil ketika keinginannya tidak dituruti oleh
orangtuanya?
Menangis?
Marah? Merengek? Ngambek?
Begitu
pula ketika kita beranjak dewasa. Seringkali kita merasa seperti itu
ketika keinginan atau kehendak kita tidak belum bisa terlaksana dengan baik. Begitu
pun dengan aku.
Pada
umumnya sama, setiap manusia mempunyai yang dinamakan ‘rasa’. Hanya, dari rasa itu tidak bisa disamakan satu sama lain.
Aku mempunyai adik yang berumur kurang lebih 8 tahun. Tulus Imansyah namanya.
Kulitnya putih, perawakannya tegap, juga ganteng kalau kata orang. Sebelumnya,
aku tidak pernah menyangka bahwa dia akan berpikir dan melakukan hal ini.
Satu waktu, kami
sekeluarga harus makan tahu-tempe setiap hari. Sampai pada hari ke tiga, dia
menghampiriku di suasana malam yang terbilang belum larut.
“Mbak,
kenapa mama kok masak ikan tahu-tempe
terus?”
“Mungkin
mama lagi nggak punya duit, dik.” Aku
menjawab dengan tidak seberapa menggubris ke arahnya.
Lalu
dia masuk ke dalam rumah, dan balik menghampiriku lagi.
“Mbak,
ini uang tabunganku seminggu ini. Tapi nggak
tahu ada berapa uang di dalamnya?” Dengan menyetorkan kardus susu bekas yang
dibuat serupa celengan.
Aku diam, mencoba mengerti apa yang sedang dilakukan oleh adikku. Aku
menamati wajahnya dalam-dalam. Tidak ada tampang bercanda seperti biasanya,
tidak ada tampang riang seorang anak kecil. Aku semakin terdiam. Memandanginya,
sementara rautnya masih terus menawarkanku untuk menghitung uang celengannya
bersama.
“Ini
disimpan aja. Buat uang jajan kamu.” Aku mendorong kotak celengannya ke arah
perutnya.
“Tapi
uang disini bisa buat tambahan uang belanja mama besok, mbak. Coba hitung ini,
ada sekitar Rp 9.500. Cukup kan buat
beli ikan?” Dia ngotot. Matanya mulai berkaca-kaca.
Aku memeluknya, menghadapkan wajahnya ke wajahku sambil mengelus-elus rambut ikalnya. “Adik kenapa? Hmmm? Meskipun
cuma tahu-tempe setiap hari harus tetep bersyukur....” Masih berada di pelukanku.
Setelah
itu, dia mengusap air matanya, masuk ke rumah dan menaruh celengannya lagi di atas meja. Dia
menghampiriku kembali di teras dan duduk dipangkuanku. Kami menikmati angin malam dan menengguk
ketenangan sesaat.
Malam
ini, puing-puing hening menjadi rontok oleh keadaan yang selalu membuat kami
menjadi orang yang ‘mengerti’
Bukan
untuk dipaksakan, bukan untuk dilarutkan tapi untuk dimengerti.
Saat sudah besar, ada banyak hal yang mengharuskan untuk 'mengerti' satu per satu. Termasuk masalah persahabatan, pergaulan yang majemuk, pekerjaan yang menumpuk, kuliah, tantangan karir, organisasi sana-sini, ke-njelimetan keuangan, keluarga sampai masalah cinta sekalipun, semua ingin dimengerti.
Menjadi
orang pintar, boleh saja. Tapi menjadi orang yang mengerti aku rasa itu harus.
Dimanapun, kapanpun dan dalam keadaan apapun. Kalau
bukan kita yang mengerti, lantas?
Mungkin,
Tuhan yang selalu 'mengerti' keadaan kita hanya ingin kita lebih 'mengerti' akan
sesuatu yang tidak pernah kita tahu nantinya.
Karena
kita diciptakan lebih sempurna dari pada hanya sebuah ‘keadaan’
Jangan
tanya sampai kapan? Jangan tanya dimana dan dengan siapa?
Karena Tuhan selalu mengajarkan kasih sayang kepada semua umatNya termasuk dengan seekor semut di kegelapan.
Selamat
menjadi yang 'mengerti!'
Komentar
Posting Komentar