Bidadari Ayah



20 tahun lalu…

Aku mengajarimu mengenal Tuhan dengan cara yang bijak. Aku mengajarimu mengaji sejak kamu belum bisa berbicara. Sekalipun kau bisa memanggilku dengan sedikit tertatih, A… yah… Ma… Ma. Aku merasa menjadi orang paling bahagia sedunia.

Aku menggendongmu setiap pagi, mencarikan seberkas sinar matahari dan mengalirkannya ke seluruh tubuh mungilmu yang berbalut bedong. Matamu sedikit terganggu karena silau, kamu bergerak-gerak gesit karena tak mau berlama-lama dijemur. Aku mencubit centil pipi merahmu, kemudian kamu menangis dengan kencang.

“Uuuh, ayah nakal ya Nak.”

Kamu tidak menjawab, kamu tetap menangis dengan kakimu yang tidak bisa diam hingga akhirnya bedongan itu pun bubar.

Aku melihat kekuatan yang teramat dalam. Aku melihat kemauan yang begitu hebat yang ada di dalam dirimu.

19 tahun lalu…

Belum selesai aku berbicara begitu, ternyata kamu sudah menunjukkan tanda-tanda kehebatanmu. Kamu dapat merangkak dan berjalan lebih cepat dari umumnya. 11 bulan, kamu bisa berjalan dengan lucunya. Aku semakin menjadi ayah yang paling beruntung di dunia.

Kamu berlari ke sana-kemari. Menggenggam mainan kerincinganmu dengan wajah yang riang.

Aku bergumam dalam hati, Tuhan… inikah bidadari yang Engkau berikan untukku?

Satu tahun umurnya, tubuhnya tumbuh sehat, bertambah berat dan tinggi, bertambah imut dan lucu. Hampir tidak pernah sakit, hampir tidak pernah mengalami gangguan pertumbuhan.

Aku mulai rajin menggendongmu ke masjid saat sore hari. Mengenalkanmu dengan lantunan indah ayat suci Al-Qur’an yang selalu basah terdengar di telinga. Aku ingin membiasakanmu dalam hal ini. Karena aku tahu, ini untuk kebutuhanmu sampai dewasa, sampai tua, sampai meninggal, dan sampai berada di dunia selanjutnya. Seringkali, rekanku di masjid turut menggoda sampai kamu tertawa geli di pangkuanku. Mereka bilang, “anakmu lucu sekali, cantik, matanya belok.”

Aku tersenyum saja.

18 tahun lalu…

Aku menitipkanmu di sebuah TPA yang ada di masjid. Aku ingin kamu dibimbing oleh guru agama yang saat itu disegani di kampung ini. Sebut saja beliau “Ummi’”. Tidak berhenti sampai disitu, pulang kamu mengaji di TPA, aku selalu minta kamu mengaji lagi di toko denganku. Aku mendampinginmu, dan mendengarkan kamu belajar mengaji dengan tertatih-tatih. Anehnya, di umur yang sekecil itu, kamu tidak pernah berontak saat aku pelajari. Bahkan selesai mengaji, aku tidak menyuruhmu untuk bermain. Aku malah mengajarimu menghafal huruf alphabet. Katamu, “A…Be…Ce…De..Eph..Ge..Ha... dst”

Semakin hari, kamu terlihat lebih lancar. Sekarang, kamu sudah bisa do’a akan makan, do’a mau tidur dan do’a untuk kedua orang tua.

Aku cukup bangga.

17 tahun lalu….

Seringnya kamu ikut aku bekerja di toko, membuat tetangga semakin mengenalmu dengan sosok anak kecil yang lucu dan cerdas. Mamamu bilang, kamu berbeda dengan anak-anak kecil sebayamu. Terbukti, saat itu kamu berumur 3,5 tahun. “Mama aku mau sekolah… aku mau sekolah, bawa tas.” Katamu sambil merengek. Jaman itu, tidak ada playgroup, tidak ada Kelompok Bermain atau PAUD. Jadi terpaksa, aku menyekolahkanmu di TK. Tapi, aku hanya berencana menitipkan. Mengingat umur kamu yang masih sangat sedikit. Berjalan 5 bulan. Guru kamu memanggilku untuk bicara sesuatu hal. Beliau mengatakan, “anak bapak ingin masuk ke kelas B, yang seharusnya itu untuk anak-anak berusia 5 tahun.” Saat itu umurmu tepat 4 tahun. Aku mengiyakan penawaran dari gurumu karena ini murni permintaan kamu.

16 tahun lalu..

satu tahun kamu menjalani TK. Aku dengar dari gurumu, kamu juara 1 melukis? Apa benar?
Aku dengar dari gurumu, kamu ikut paduan suara di TK itu? Apa iya?
Aku dengar dari gurumu, kamu ikut lomba di radio kota? Serius?

Aku tidak seberapa mengerti. Karena kamu kerjakan semuanya sendiri. Saat kamu berangkat sekolah juga tidak mau aku antar, tidak mau aku tunggui, bahkan kamu selalu bilang, “Ayah di rumah saja, jaga toko sama mama.”

Baiklah…..sekarang aku mau mendaftarkan kamu di sebuah sekolah tarbiyah.

Aku hanya ingin mengajimu tambah lancar dan lancar. Sudah.

15 tahun lalu..

Aku masih membuka-buka tas ranselmu saat kamu sudah tertidur lelap. Ku dapati beberapa soal ujian yang sudah dibubuhi nilai dan paraf guru diatasnya. Nilai terjelek kamu yaitu, 95.

Aku cukup tercengang. Padahal umurmu saat itu masih 5 tahun.

Beberapa kemudian saat pengambilan rapot, kamu menangis tiada henti.

Kamu bilang, “Ayah, maafkan aku, aku cuma rengking sepuluh… ”

Aku bilang, “Tidak apa-apa, sudah bagus. Mungkin tahun depan bisa naik peringkatnya jadi harus belajar lebih serius lagi.” Sambil tersenyum.

Karena waktu kamu berumur 3 tahunan sudah sering aku ajak ke masjid untuk mendengar para qori' membaca lantunan ayat suci Al-Qur'an dengan indah, kini kamu mulai bisa menirukannya se-ayat demi ayat.

"Lihat, anakmu. Sudah bisa menirukan bacaan indah itu. Mau jadi pembaca Al-Qur'an juga ya besarnya?" Celetuk salah satu temanku sambil mengelus-elus rambutmu yang lurus sebahu.  

14 tahun lalu…

Sekarang kamu kelas 3 SD, pelajaran yang kamu hadapi mulai bertambah sulit. Aku rasa, kamu sangat membutuhkanku. Aku mulai menuntunmu perlahan, setiap hari ku bacakan perkalian, ku bacakan buku cerita, ku bacakan RPUL yang berisi nama-nama adat daerah juga aku cek hafalan juz ‘amma mu yang sudah mulai naik di surat Al-Ma’uun. Sampai akhirnya, peringkat kelasmu naik menjadi peringkat 5.

Kamu terlihat PD, dan semakin rajin membaca.

Aku selalu bilang, “dibaca bukunya, diulang materinya. Jangan malas membaca.”

Satu hal yang aku ingat. Saat umur itu aku memberimu sebuah kado, yaitu buku diary.

Di sampulnya aku beri tulisan ‘Jadilah gadis yang cerdas.’

Padahal waktu itu kamu masih sering bingung membedakan arti antara ‘pintar’ dan ‘cerdas’. Tapi ku pikir itu tidak jadi masalah, lambat laun kamu juga akan mengerti. Aku harap, tulisan itu menjadi do’a.

13 tahun lalu…

Kamu naik ke kelas 4 SD, umur kamu genap delapan. Telah sewindu aku menjagamu, aku berharap bisa terus ada di sampingmu hingga umurmu berwindu-windu. Namun aku tahu itu tidak mungkin. Sekarang, aku melihat kamu sering menghabiskan waktu di kamar. Kata mama kamu belajar, tapi apakah nyaman belajar sendiri tanpa aku di sampingmu?

Aku sedikit gelisah.
Padahal kamu tidak memperlihatkan tanda-tanda menjauhiku, sesekali aku ingin tahu. Aku membuka pintu kamarmu perlahan.

Kamu menulis buku diary yang aku berikan saat ulang tahunmu ke-delapan.
Aku mengeluarkan nafas pelan-pelan, tanganku mengelus dada perlahan, kekhawatiranku menghilang.

Kado dariku itu, ternyata sudah kamu pakai. Walaupun aku tidak tahu apa yang kamu tulis disana.

12 tahun lalu…

Tahun ini, getar-getar di dadamu sebagai seorang anak yang tumbuh dewasa mulai terlihat. Persaingan di sekolah kamu semakin ketat. Seminggu lalu, kamu bercerita, “Ayah, kan ada lomba pidato Hari Kartini di sekolah. Dan isi pidatonya harus murni buatan sendiri, tapi…”
“Tapi apa?” aku menyela.
“Tapi teman-teman pada mencontoh isi naskah pidato di buku-buku. Aku tidak mau.”
“Tapi kamu ikut kan?”
“Ikut, Ayah. Tapi aku malas!” kamu membentak.
“Jelas, jelas mereka yang menang, karena mereka curang.”

Aku tersenyum, aku terus memberikan kalimat-kalimat motivasi agar kamu tetap mengikutinya. Dengan bimbingan ibumu, naskah pidatomu hari ini selesai dibuat.
Sekarang aku siap mengajarimu berpidato dengan baik.

Aku bilang, sampaikan isi pidatonya dengan tulus, bahwa menjadi seorang kartini yang kamu deskripsikan bukan hanya ada dalam secarik kertas yang kau baca berulang kali hari ini. Tapi jiwa itu, ada dan merasuk dalam dirimu, anakku.

Tapi maafkan aku, aku tidak bisa datang saat penampilanmu berlangsung karena pekerjaanku. Begitu juga ibumu. Aku berharap, kamu tetap menampilkan yang terbaik.

Hatiku gusar, aku takut kamu kecewa dengan hasilnya. Karena aku tahu, hatimu sangat-sangat sensitif. Hari itu, aku berdoa disini. Meskipun aku tidak menyaksikan penampilanmu secara langsung, tapi hati kecilku begitu deras keyakinan kemenanganmu.
Kamu pasti bisa, aku percaya kamu.

Sore ini, aku sengaja pulang kerja lebih cepat. Aku mengetuk pintu rumah, berharap kamu yang membuka pintu dan menampilkan secercah senyum yang kamu berikan untukku. Menunggu agak lama, ternyata yang membuka pintu adalah si mbak. Aku mencarimu di sekitar ruangan, aku khawatir, bagaimana keadaan hatimu sore ini? Tidakkah ada teriakan lucu dan pelukan terhebat untukku seperti biasa sepulang kerja?

Kamu tertidur pulas di kamar, bahkan, atribut baju kartinimu belum sempat kamu lepas. Kebayamu masih lengkap. Sepertinya kamu begitu kelelahan. Aku tidak sengaja menengok meja belajarmu. Aku melihat sebuah bingkisan besar dibalut kertas coklat yang sudah lecek, bagian atasnya terbuka. Aku masuk kamarmu, mendekatinya.

Sebuah tas ransel dominasi warna hitam dengan tulisan berwarna oranye pada merk tas, aku menggeser pandangan, aku melihat trofi kecil berukir, “Juara II Lomba Pidato Hari Kartini”

Nafasku berhembus kencang, belum sempat air mataku jatuh, aku mencumbui dahimu pelan-pelan. Aku ucapkan, “Bidadariku, selamat ya sayang. Kamu hebat.”

11 tahun lalu…

Tahun ini, kompetisi semakin bergeming. Kamu terpilih sebagai siswi yang mewakili sekolah untuk kegiatan Pondok Ramadhan Terpadu se-Kecamatan. Mulanya kamu ragu untuk mengikutinya, karena kamu berangkat sendiri, tidak bersama-sama teman perempuanmu yang lainnya. Tapi aku yakin kamu bisa melewati program ini karena hanya dilaksanakan selama tiga hari. Aku tahu bagaimana kamu, wajar kalau aku akan datang menjengukmu di hari pertama proses karantina. 

Aku datang bersama Mamamu sesaat setelah shalat Tarawih. Benar dugaanku, kamu menangis tersedu-sedu dan lapor kepada guru piket yang disana bahwa kamu tidak betah. Aku datang memelukmu erat, mengelus-elus jilbabmu dan mulai merayu dengan lembut.

“Ayolah, jangan pulang. Akan ada kegiatan Ramadhan yang seru di hari esok dan lusa. Bukankah kamu bilang mau ikut lomba menghafal Surat An-Naba’?” Rayuku sambil tetap memegang kepalamu yang berdarat di bahuku.

“Aku ingin pulang, Ayah... Disini teman-temannya lain. Tidak seperti di sekolah....” Kamu tetap menangis.

“Kamu hebat sayang sudah melalui hari ini, tinggal besok dan lusa saja kamu akan menginap disini. Katanya mau menangin lomba? Katanya mau bawa piala yang banyak buat sekolah?” Tambah Mamamu.

Akhirnya, kamu bersedia untuk tetap tinggal dan mengikuti sisa program terpadu ini. Lusa, kami bersiap menyambutmu pulang ke rumah. Mamamu sedang menyiapkan hidangan berbuka yang paling kamu sukai. Teriakan salammu sudah terdengar dari halaman depan. Wajahmu tampak sumringah, kamu berteriak, “Juara satuu, juara satu....”

“Alhamdulillah....” Sahut kami berdua.
“Juara satu Ayah, lomba menghafal Surat An-Naba’ dan Lomba Cerdas Cermat.”

Kami bersama-sama memelukmu dengan haru. Empat bulan lagi, kamu akan melaksanakan Ujian Nasional pertama di sepanjang hidupmu. Peringkatmu saat naik ke kelas 6 lumayan bagus. Peringkat 4. Oleh karena itu, aku yakin kamu bisa melewati Ujian Nasional dengan baik. Tiada waktu aku lewati tanpa do’a, tiada waktu aku lewati tanpa memantau kesiapanmu.

“Sampai mana belajarnya? Apa pelajaran yang ini sudah bisa? Apa kamu mau les ini? Les itu? Akan aku usahakan.”

Kegelisahanku semakin dalam, saat waktu Ujian Nasional tiba. Aku tidak melihat raut yang gugup dari wajahmu. Aku melihat ketenganmu seperti air bening mengalir.

Kamu pasti bisa melewatinya, anakku.

10 tahun lalu…

Kamu mengalami goncangan mental yang luar biasa beberapa waktu lalu, dari ke tiga puluh teman kelasmu. Ada lima anak yang tidak masuk di SMP Negeri Favoritnya. Ke lima anak itu termasuk kamu. Kalau boleh jujur, sebenarnya aku agak kecewa. Tapi aku selalu berusaha mengembalikan lagi bahwa kehendak Tuhan akanmu tidak pernah salah. Kamu pasti temukan jalan yang lebih gemilang.

Akhirnya, kamu masuk di SMP Islam pilihanmu sendiri. SMP itu terbilang cukup bagus, karena statusnya sudah disamakan dengan sekolah-sekolah negeri lainnya. Tapi sekarang, karena hatimu terluka lantaran keinginanmu untuk sekolah di SMP Favorit terlempar, kamu berubah. Kamu menjadi pribadi yang sangat tertutup. Seakan-akan ini benar-benar murni kesalahanmu. Walaupun aku tetap yakin, sinar seorang bintang tak selalu menghilang tertutupi kabut. Ia hanya bersembunyi, untuk mengumpulkan sinar-sinar yang lebih terang di lain kesempatan.

9 tahun lalu…

Dua tahun berturut-turut, kamu mendapat peringkat satu di sekolahmu ini. Tapi, kamu tetap menjadi pribadi yang sangat pendiam. Buku diary-mu, sekarang sudah berjumlah lima. Kadang-kadang aku bertanya-tanya. Kenapa bisa sebanyak itu?

Apa yang kau tulis?
Apa kamu cuma sekedar membuat corat-coret di setiap lembarnya?
Apa itu isinya cuma gambar-gambar tokoh kartun yang selalu kau tonton setiap hari minggu?

Ternyata aku salah, kamu terlihat sibuk menulis karena waktu itu kamu didapuk menjadi pemegang mading sekolah, pemimpin redaksi majalah sekolah juga peserta lomba jurnalis se-Jawa Bali tingkat SMP yang akan dilangsungkan bulan depan.

Waktu berjalan, dua minggu sebelum lomba tiba. Aku mendapat telepon dari bapak Polisi pengatur jalan raya bahwa kamu kecelakaan. Tangan kananmu mengalami patah tulang, dan memerlukan waktu istirahat yang cukup lama. Kamu menangis menderu-deru. Aku merasa sangat kaget dan terpukul.

Ya Tuhan, apa yang terjadi dengan bidadari kecilku. Sebentar lagi dia akan lomba, dan Engkau memberikan ujian yang cukup berat ini kepadanya… Pintaku dalam hati.

Hari bergulir, setiap sore, aku menyaksikan kamu latihan menulis dengan tangan kiri. Sesekali kamu terlihat mengusapi pipi, sesekali matamu terlihat merah dan lebam.
Sabar anakku, ujian ini akan menguatkanmu.

Besok, adalah waktu lomba itu. Telapak tangan kananmu sudah bisa bergerak, walaupun masih harus dipapah oleh tangan satunya.
Tapi aku tetap tidak tega kalau kamu sampai memutuskan untuk tetap mengikuti lomba. Apa daya, kemauanmu begitu keras, dengan balutan verban coklat di tangan yang mengikat lenganmu, kamu  tetap kukuh untuk berangkat lomba mewakili sekolah.

Kata gurumu, aku disuruh membiarkan. Apa dia tidak berpikir bahwa aku sangat mengkhawatirkanmu? Hal ini sungguh membuatku takut. Aku takut terjadi apa-apa pada tanganmu, pada kamu, pada kesehatanmu yang baru agak membaik, pada semuanya tentangmu.

Jika kamu berpikir dengan ini kamu membuatku bangga, aku rasa tidak. Dua tahun kamu sekolah, aku tidak pernah mengeluarkan uang untuk bayar SPP-mu, bagiku ini sudah kebanggaan yang teramat dalam. Kamu perlu banyak-banyak bersyukur. Kenapa kamu masih merasa mengecewakanku?

Kamu bawel sekali.

Sewindu lalu…

Ujian sekolah sudah terlewati. Ujian Nasional kali ke dua ini, aku melihat usahamu begitu sungguh-sungguh. Aku sadar, perasaanmu begini karena kamu sudah pernah gagal saat SD dulu. Oleh karena itu, aku berusaha membiarkan mimpi-mimpimu berterbangan. Setiap saat aku selalu mendoakanmu, siang malam tiada henti.

Peringkatmu di kelas 3 SMP ini tetap bertahan, peringkat 1.

Pada akhirnya, acara perpisahan akan tiba di sebuah gedung yang megah. Malam ini aku tidak bisa tidur, setelah dapat telepon dari Kepala Sekolah untuk menyampaikan pidato sebagai seorang wali “Bintang Pelajar”

Jujur, aku tidak pandai berbicara. Jadi maklum, kalau malam hingga esok pagi di wajahku akan tampak beberapa butir keringat dingin.

Acara perpisahan pagi ini dimulai pukul 09.00. Seorang MC membuka acara, karena ini adalah sekolah Islam, maka acara dilanjutkan dengan pembacaan lantunan Ayat Suci Al-Qur’an oleh salah satu murid.

Aku menunggu, sempat berharap itu kamu yang membacakan. Tapi hari-hari lalu, aku tak melihatmu latihan di kamar, di ruang tamu atau menyuruhku menyimak bacaan Qur’anmu.
Para hadirin sedikit khawatir, karena ada gangguan dengan pengeras suaranya. Beberapa menit, panitia acara perpisahan terlihat mengatur si murid. Dia membelakangiku, kepalaku sedikit meninggi mencoba menamati seseorang dibalik panitia.

Punggung panitia itu berbalik, meminta maaf kepada para hadirin akan terjadinya kesalahan teknis. Akhirnya Al-Qur’an dilantunkan tanpa mic. Tidak lama, senyumku tersungging, murid wanita yang berjalan ke tengah panggung itu, ternyata kamu. Dengan menenteng Al-Qur’an yang didekatkan di dada, kamu menunduk mengucap salam kepada kami semua.

Kalau boleh, aku akan merekam detik itu sebaik-baiknya, tanpa cacat dan tanpa jeda. Kamu membuat seisi ruangan bergetar. Kamu membuat seisi ruangan menitikkan air mata. Termasuk aku, ya termasuk aku. Ayahmu yang dulu, mungkin sudah belasan tahun yang lalu berharap peristiwa ini terjadi.

Pukul 11.00. Penyerahan trofi dan hadiah. namamu dipanggil, aku melihat dari kejauhan, matamu sangat gemilang, senyummu merekah menyambut salam dari bapak Kepala Sekolah. Tidak lama, namaku ikut dipanggil naik ke panggung. Aku bersalaman dengan Kepala Sekolahmu, kemudian memelukmu cepat, karena aku harus berikan sepatah-dua kata di atas panggung ini.

Kertas sambutan ku lipat kecil, agak basah oleh keringat yang bersumber dari telapak tanganku, aku mencoba tetap tersenyum, walaupun rasanya tidak karu-karuan, aku gugup, takut tidak lancar, takut salah bicara, aku tak selihai dirimu saat di atas panggung, aku ingin menangis.

Aku menyampaikan rasa haru biru dari atas panggung, di depan guru-guru, di depan semua wali murid, dan juga di depan teman-temanmu.

Terima kasih bidadariku, atas keberhasilan awalmu.

Note: Sepuluh besar cerita inspiratif terbaik diadakan oleh www.hutanta.com.

Komentar

Postingan Populer