Transformasi Konstruksi Sosial


Sebagai sebuah masalah sosial, pelecehan dan tindak kekerasan seksual terhadap perempuan merupakan sesuatu yang bersifat kontroversional. Di masyarakat kita, setiap terjadi kasus kekerasan seksual -diakui atau tidak- seringkali masih dijumpai pendapat yang beragam. Mulai dari apa hingga mengapa tindak kekerasan seksual bisa terjadi. Tidak sedikit orang mengatakan bahwa hal tersebut terjadi karena semakin banyak perempuan yang berani berpakaian yang mini dan ketat serta dengan sengaja menonjolkan keindahan lekuk tubuhnya. Sementara itu ada pula yang mengatakan bahwa hal tersebut terjadi karena adanya faktor N (niat) dan K (kesempatan). Banyak pula yang mengatakan karena adanya rasa superioritas kaum laki- laki terhadap perempuan dalam berbagai aspek kehidupan.
            Beragamnya pendapat mengenai tindak kekerasan seksual tidak terlepas dari sebuah “Konstruksi Sosial” yang diyakini kebenarannya. Kontruksi sosial mengenai kekerasan seksual muncul karena adanya berbagai asumsi baik dari seorang pakar, tokoh masyarakat dan teori yang diolah kembali serta disosialisasi melalui banyak media. Padahal, ada kalanya konstruksi sosial yang diyakini tersebut sebenarnya hanyalah sebuah mitos belaka.
Selama ini konsep yang kita yakini sendiri sering menempatkan perempuan pada kedudukan yang kurang menguntungkan di masyarakat. Sejak kecil perempuan dianggap sebagai orang ‘nomor dua’ berada pada posisi inferior. Sedangkan laki-laki pada posisi superior. memang tidak semuanya salah. Meski tidak secara eksplisit dinyatakan, tetapi sejumlah indikasi memperlihatkan bahwa dalam banyak hal memang posisi laki-laki cenderung ditempatkan lebih berkuasa bahkan lebih berhak untuk menguasai lawan jenisnya. Sebagai contoh, biasanya seorang perempuan yang dinyatakan sudah tidak virgin, akan merasa sangat terpukul dan dikucilkan ketimbang seorang laki-laki yang sudah tidak perjaka. Padahal sebenarnya kedua hal itu mempunyai sifat yang sama. Ketimpangan itulah yang hingga kini mengakar dalam masyrakat hingga menjadikan mitos yang mereka buat sendiri sebagai konstruksi sosial yang ada.
Sebagai tranformasi dari masalah ini, pendidikan kesehatan reproduksi ada kalanya diberikan sejak berada di bangku Sekolah Menengah Atas. Tentu keberadaanya sangat mempunyai pengaruh besar terutama pada perkembangan biologis para remaja. Baik itu perempuan maupun laki-laki, yang nantinya bisa membuka mindset dan menjadi bekal pengetahuan mereka. Justru dalam hal ini yang lebih ditekankan untuk mengerti tentang kesehatan reproduksi adalah seorang laki-laki. Karena pada umumnya perempuan lebih tahu akan peranan yang harus ia berikan, berbeda dengan laki-laki yang memiliki kecenderungan untuk meminta lebih. Namun bisa jadi setelah mendapatkan pendidikan tentang kesehatan reproduksi laki- laki akan sebaliknya, yaitu memberi lebih dan mengerti bagaimana seharusnya memenuhi hak-hak yang harus diterima seorang perempuan. Dengan begitu kesinergisan antara perempuan dan laki- laki bisa diupayakan dengan baik. 
Dapat dikatakan disini bahwa tindak kekerasan seksual terjadi juga lantaran sedikitnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi yang diberikan bahkan hampir tidak ada. Realitanya kekerasan seksual terhadap perempuan oleh laki-laki pada hakekat yang sebenarnya merupakan gejala yang sangat kompleks, mengakar dalam hubungan kekuasaan yang berbasis gender, seksualitas, identitas diri serta pengaruh pranata sosial yang sedang berkembang. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menciptakan sebuah image baru yang lebih konstruktif dalam masyarakat tentang ketimpangan masalah sosial yang ada. Yang bukan hanya berdasar pada sebuah mitos belaka sebagai konstruksi sosialnya.(*)

tulisan ini dibuat waktu abis dapet kuliah Kesehatan Reproduksi, semester ke-dua.

Komentar

Postingan Populer