Liberal Workshop For Student On CLIMATE CHANGE AND FREE MARKET-1

Dari ruangan Shapire di COUNTRY HERITAGE Resort Hotel Surabaya. Workshop diadakan mulai dari hari Rabu tanggal 22 sampai hari Kamis 23 Februari 2012. Sebenarnya bagi penulis sendiri agak bingung ingin menulis rangkuman ini dengan atau sajian yang seperti apa. Mungkin teman-teman bisa mengartikan sendiri dari judul kajian diatas. “Liberal Workshop For Student On CLIMATE CHANGE AND FREE MARKET”

Kira-kira yang terlintas dipikiran seperti apa?
Acara ini berlangsung atas kerjasama dari komunitas Akar Petit, Freedom Institute dan Friedrich Naumann Stiftung. Tidak berpanjang kata mengenai yayasan itu, langsung ke topik mungkin lebih enak.

Dari seminar dua hari ini, saya sebagai perwakilan dari kampus akan memerikan resume tentang korelasi antara climate change dengan free market. Bagaimana semua pejamu seminar bisa mengkorelasikan antara dua hal yang sekilas sangat tak berhubungan ini.
Sebelumnya maaf kalo gaya tulisan agak sedikit slenge’an seperti di blog. Yang penting ilmunya kesampaian kepada temen-temen lah. No offense...

Berawal dari sebuah kajian.
Dalam bukunya Menemukan Kembali Liberalisme, Ludwig von Mises mengatakan bahwa liberalisme pada awalnya senantiasa dilekatkan dengan paham tentang kebebasan individu dan hak miliki pribadi. Baik tentang mekanisme pasar bebas. Pasar bebas yaitu pasar yang bisa mengatur dirinya sendiri (antara lain melalui pembagian kerja) untuk menciptakan tata masyarakat yang setara, dan pembatasan peran negara seminimal mungkin. Liberalisme dalam hal ini dianggap identik dengan paham laissez faire.

Umumnya, liberalisme klasik semacam itu tidak dimengerti dan diamalkan secara harfiah saja. Tak jarang bagi teman-teman yang selalu mengartikan secara parsial saja hal semacam ini menjadi sering digotomikan.

Masyarakat Amerika yang dari sononya sudah liberal, selalu menjunjung tinggi prinsip kesetaraan manusia. Dengan tidak mengakui sistem feodalisme yang hirarkis seperti halnya di Eropa.

Oleh karena itu Ludwig von Mises yang merupakan salah satu eksponen Mazhab Ekonomi Austria membedah paham liberalisme klasik yang dianutnya bersama muridnya Friedrich A. Hayek yang jauh dikenal oleh publik. Bagi mereka, liberalisme sosial ala Amerika yang tercermin dalam bentuk kebijakan regulasi dan intervensi negara terhap  mekanisme pasar merupakan ancaman terhadap keberlangsungan masyarakat bebas. Tidak kalah berbahayanya dibanding dengan seperti ideologi kolektivisme dan komunisme.

Liberalisme per definisi adalah doktrin tentang kebebasan yang merata dan kesempatan yang setara untuk setiap individu tanpa pengaturan, kontrol dan regulasi dari negara (berbeda dengan kolektivisme dan intervensionisme).    Liberalisme juga berurusan dengan aktivitas manusia menyangkut soal kesejahteraan material.

Namun ada pernyataan menarik dari yang saya perhatikan tentang kaitan antara ilmu liberalisme dengan ilmu ekonomi. Bahwa pada dasarnya dari dua hari yang saya dapatkan ini, liberalisme tidak lain adalah aplikasi prinsip-prinsip ilmu ekonomi ke dalam ranah politik dan sosial.

Mises menyebutkan dalam bukunya, karena kecenderungan utamanya bahwa setiap individu hanyalah memaksimalkan terpenuhinya kepentingan-dirinya, bertanggung jawab hanya pada dirinya, dan bergantung pada dirinya sendiri.
Sementara kita tahu bahwa meski keinginan dan kebutuhan meanusia itu tidak terbatas, tapi lingkungan, waktu dan alam tempat kita hidup adalah terbatas. Ditambah lagi sumber daya manusia yang tidak terdistribusi secara maksimal. Maka pembagian kerjalah yang menjadi suatu keniscayaan untuk meningkatkan produktivitas.

Dari sinilah prinsip-prinsip liberalisme dalam diri individu itu mencoba dimasukkan.

Diantaranya ada toleransi, kesetaraan, kebebasan dan kepemilikan, kebebasan masyarakat sipil, keadilan sosial, demokrasi, free market, tidak adanya dogmatisme (terbuka terhadap kritik), kompetisi sebagai peningkatan kualitas, Property Right, Role Of Law dan sistem koordinasi sebagai penguat.

Ada dua narasumber yang hadir dan memberikan kuliah pada hari itu. Di hari pertama ada pak Faisal Aminuddin yang memberikan pengantar tentang liberalisme, beliau dari Kepala Departemen Ilmu Politik Universitas Brawijaya. Untuk hari kedua ada pak M. Husni Thamrin sebagai pakar liberalis bidang Climate Change di Friedrich Naumann Stiftung Jakarta.
Serius: M. Husni Thamrin (kanan) sedang memberikan materi di hari ke-dua.

Gampangnya seperti ini teman-teman,
Liberalisme itu menjelma pada dua muka. Jika berada di dunia politik maka ia berwujud sebagai bentuk demokrasi. Namun, jika di dalam ilmu ekonomi ia berwujud sebagai Free Market atau pasar bebas.

Nah, kaum liberal menyebut dirinya kaum tanpa dogmatisme. Kenapa?

Karena mereka menganggap kritik sebagai suatu hal untuk penguatan dan perbaikan dirinya. Mereka menganggap semua kritik itu baik dan selalu mengabaikan hujatan.
Itu sebabnya mereka penganut sistem demokrasi liberal. Berangkat dari sebuah asumsi dasar kaum liberalis yaitu “mereka percaya bahwa pada dasarnya semua manusia itu baik!”. Maka tidak perlu adanya banyak aturan. Paahal pemerintah mempunyai otoritas untuk membuat sebuah aturan atau kebijakan publik.

Hal ini sedikit banyak akan berpengaruh terhadap institusi yang tidak mempunyai kontrol mekanisme karena akan mudah terkooptasi.

Korelasinya terhadap kesejahteraan ekonomi adalah ada  sebuah kondisi atau ruang yang tak terbatas sehingga individu dapat mengoptimalisasi keinginannya (teori Adam Smith). Akhirnya terbentuklah free market sebagai perwujudan itu. Individu akan bergerak ke arah utility maximizer, sehingga jargon kapitalisme awal muncul dalam ekonomi klasik yang biasa disebut dengan invisible hand.


Bersambung...

Komentar

Postingan Populer