cadhwell-luc #part 2 (operasi dibatalkan)


Sepasang mataku sudah sampai di depan kamar nomor sembilan.Ini adalah ruangan dokter spesialis THT yang minggu lalu memeriksaku, dr. Andi Roesbiantoro, SpTHT namanya. Mendapat urutan ke empat dari nomor antri loket yang sudah ditangan. Dan sekarang masih urutan pertama yang ada di ruangan dokter tersebut. Masih kurang dua pasien lagi yang akan diperiksa.Tanganku terus tak berhenti berderap di kedua lututku. 
"Dalam keadaan duduk seperti ini apa yang enak dilakukan ya?" Tanyaku dalam hati.
Sembari seringnya aku mengambil nafas dalam untuk mengurasi rasa gugup, karena  jam 10.00 pagi nanti akan dilaksanakan operasi sinusitis ku. 

“Ya Allah, Engkau tahu bagaimana keadaan hati ini sekarang. Hamba pasrah Ya Allah…”

Mencoba menenangkan diri sendiri dengan terus berdo’a dalam hati. Pagi ini aku gugup, rasa diamku seribu bahasa hanyalah sebuah alibi bahwa aku dalam keadaan tenang-tenang saja. 

Setiap kali orang tua bertanya, “Sudah siap operasi nduk?”

Aku hanya mengangguk tenang dan mencoba meyakinkan bahwa aku baik-baik saja.

Hey, pasien yang nomor dua itu lama sekali. Sudah hampir tiga puluh menit duduk di bangku tunggu tapi pasien yang sudah diperiksa masih dua orang. 

Ada handout di tas ransel ini, membaca dan memahaminya mungkin pilihan yang pas. Menunggu pasien nomor urut ke tiga yang akan diperiksa dokter. Sementara Ayah, masih asik membaca koran yang dibawanya dari rumah.

Maklum, dua minggu ke depan akan ada Ujian Tengah Semester. Untuk mahasiswi yang bisa di bilang pas-pasan seperti aku, agenda UTS cukup membuat pusing kepala. Entahlah, sudah semester empat tapi masih saja aku ini bebal dalam masalah paham atau tidak semua mata kuliah. Kuliah seperti tidak sepenuh hati, mungkin benar apa kata seorang teman. Aku ini salah jurusan, makanya kuliah tidak pernah niat sama sekali. Kalau dirasa mata kuliahnya cocok baru mencatat dan mendengarkan dosen bicara. Tapi kalau mata kuliahnya tidak cocok, pilihan untuk tidur di kelas tidak satu kali-dua kali dikerjakan. Bukan saatnya menyesali, yang penting bagaimana bisa mengejar ketertinggalan dan terus belajar menemukan passion di fakultas ini. 

SEMANGATTT!

Sudah pukul 09.00, nomor urut ke empat juga sudah di panggil dokter. Mau nggak mau harus siap menuju ruang operasi detik ini juga. Sesuai kesepakatan di jadwal kontrol minggu kemarin.

"Bahwa pada hari ini, Sabtu 14 April 2012 Pukul 10.00 WIB akan dilangsungkan operasi Sinusitis Maxillaries Dextra. Dengan tindakan medis pembedahan cadhwell luc oleh tim dokter di ruang operasi nanti."

“Selamat pagi dok…” sapaku kepada dokter dan perawatnya yang sudah siap menunggu di ruangan.
“Pagi…” Dokter.
“Gimana? Sudah siap operasi?” tanyanya ke arahku yang sudah duduk manis di depan beliau.
“Hmmm… Maaf boleh memastikan lagi dok. Kira-kira nanti masa pemulihan setelah operasi berapa lama ya dok? Terus, setelah operasi apa benar kata dokter langsung bisa dibuat belajar untuk UTS? Terus, apa tidak ada rasa nyeri gitu, kan obat anestesinya juga sudah habis?” Tanyaku banyak, karena sungguh aku cemas.
“Berdasarkan pasien-pasien yang sudah di operasi sih katanya langsung enteng mbak… Tapi ada juga yang kondisinya lemah, sehingga kesehatannya memburuk. Semuanya tergantung kondisi pasien. Tapi tadi pagi kamu sudah makan banyak seperti yang saya suruh kan?” Kata dokter itu.
“Sudah dok…”
“Memang besok senin kamu UTS? Berapa hari?” Tanya dokter memastikan lagi.
“Iya dok, besok selama dua minggu ke depan ada UTS, Ujian Tengah Semester.”
“Apa??? Dua minggu? Lama sekali. UTS ya.. Saya kira ujian harian biasa.”

Setelah itu, terlihat dokter yang masih diam sejenak, lalu wajahnya seperti orang mikir. 
Beliau menunduk dan bilang “Oke, yasudah sekarang saya akan mulai proses operasinya, tapi sebelum ke ruang operasi saya masukkan dulu kapas ini.” Beliau menegaskan sekali lagi bahwa kali ini akan dilangsungkan tindakan medis ini, setengah siap saya pun ke arah lebih dekat menuju dokter itu. 
Beliau mengambil alat-alatnya untuk memasukkan dua kapas kecil yang akan di masukkan ke hidung dengan alat pinset yang sangat kecil dan panjang. Beliau menarik tanganku agar tempat dudukku lebih dekat lima puluh sentimeter dari tempat duduknya. Dituangkanlah obat cair dari sebuah botol yang ada di meja periksa. Sayangnya, aku tidak dapat membaca apa nama obat yang dituangkan di kapas. Lalu beliau mulai melakukan pemeriksaan.

Cukup sakit rasanya, ketika kapas itu di paksa masuk ke dalam lubang hidung dan menjorokkannya sampai ke bagian dalam. Dua kapas yang dimasukkan. Ingin menangis, tapi masih bisa ku tahan.
Aku tidak bernafas, tubuhku dingin sekali sampai menahan nafas yang cukup lama karena perasaan tegang.

Setelah kapas di masukkan. Dokter mulai menghubungi petugas yang ada di ruang operasi, memastikan bahwa ruangan siap di pakai. 
Sementara rasanya…. Hidung kanan tak dapat dipakai bernafas lagi. Hanya bisa bernafas dengan hidung sebelah kiri. Dan dokter menyuruhku kembali ke ruang tunggu.

Dengan tangan sambil menutupi hidung, aku dan ayah pun keluar. Menunggu jam 10.00 WIB. Masih setengah jam lagi.

Aku duduk di ruang tunggu seperti semula, banyak pasien yang sedang antri lain melihatku yang baru keluar dari ruang dokter seperti heran. Karena aku seperti menahan sakit dan wajahku memucat.

Dalam hitungan detik. Aku ingat ayah menawarkan air putih untuk ku minum.

Tapi semuanya mendadak kabur, aku tidak melihat apa-apa.

Dunia berputar sangat cepat. Kepalaku berat. Pandangan mataku semuanya menjadi abu-abu. 

Mulutku kering dan tak kuasa untuk menjawab pertanyaan ayah yang sempat menawarkanku minum. 

Rasa mual tiba-tiba sampai di dada. Atau... Seperti sesak rasanya. Tapi juga mual, campur-campur. 

Kepalaku, tubuhku, gerakanku seperti di putar-putar puluhan kali. 

Padahal aku tahu, posisiku masih duduk terpaku di ruang tunggu. 

Aku sempat mendengar Ayah masih mencoba memanggilku. 
Aku masih dapat mendengar lalu-lalang pasien yang lewat di depanku. Aku masih dapat mendengar riuh perawat-perawat di meja administrasi. Aku masih dapat mendengar teriakan anak kecil usai diperiksa dan duduk-duduk di area ruang tunggu rumah sakit.
Aku masih bisa mendengar!!! 

Tapi mataku buram, badanku seperti berputar cepat sekali. Berat rasanya untuk tetap duduk. Tidak ada tenaga untuk bicara, padahal aku ingin bicara. Aku ingin bilang ke Ayah, “Panggil dokter yah, aku ingin tidur, segera tangani aku.” 

Dan seketika itu…

GELAPPP!

Aku pingsan. Aku tidak kuat. Aku lemah.

Posisi badanku, sudah terbujur di atas kursi ruang tunggu. Sementara Ayah sibuk memanggil perawat di dalam ruangan. 

“Nin.. Nina…” Ayah mencoba memukul-mukul pipiku.
“Mbak, sadar mbak. Bangun mbak…. Sudah tidak jadi operasi kata dokter. Bangun, ini teh hangatnya diminum dan dihabiskan.” Timpa perawat itu.

Aku bisa mendengar mereka, yang saling bersahutan membangunkanku. Apalagi Ayah sempat mengoleskan minyak angin di daerah dahi sebelah kanan-kiri. Tapi mataku lekat sekali rasanya. Untuk membuka saja aku tidak ada tenaga, apalagi untuk bangun. Hoohh…. Kejadian yang tidak pernah diduga sebelumnya. Seumur-umur, aku belum pernah pingsan. Baru kali ini merasakan pingsan. Lemas sekali rasanya.

Ayah dan perawat menggandengku ke ruang dokter. Mataku masih susah terbuka. Hanya dapat membuka sedikit lalu tertutup lagi. Setelah satu gelas teh hangat itu masuk ke dalam perutku. Alhamdulillah, aku seperti ada tenaga untuk bicara. Walaupun keadaanku masih sangat lemas, dan mataku masih terpejam.

“Saya sudah siap operasi dok….” Mencoba berbicara dengan terbata ke arah dokter, padahal juga belum mampu membuka mata.
“Dewiyana… “ Dokter mencoba memanggil nama lengkapku. Halus sekali.
“Iya…”
“Kamu takut?” Dokter itu bertanya sambil menggenggam erat tangan kananku.
“Saya siap operasi dok,,,, saya sudah siuman, lakukan sekarang dok.” Aku menjawabnya dengan pelan.
“Operasinya tidak jadi ya….” Kata dokter itu mencoba menenangkan.

Aku masih setengah sadar dan samar-samar mendengar dokter bicara. 

“Bapak, mohon maaf operasi dibatalkan. Kondisinya sangat lemah, denyut nadinya lemah sekali. Saya tahu dia stress. Pikirannya terbelah antara dia menguatkan dirinya untuk menjalani operasi hari ini dan mencoba kuat menghadapi UTS besok senin. Saya juga salah, terlalu membisakan untuk tindakan medis disaat dia bingung dan belum siap. Jadi operasi dibatalkan saja. Saya takut akan malah memperburuk keadaan jika dipaksakan. Kami tim dokter yang akan kebingungan nanti jika operasi akan tetap dilakukan. Bisa fatal akibatnya. Bisa-bisa malah anak bapak masuk ICU, dan koma saat operasi berlangsung. Sungguh kami hanya ingin aman dan yang terbaik untuknya. Jika pasien sudah selesai UTS, dan kondisinya menguat akan berlanjut lagi untuk tindakan medis ini.” Dokter itu menjelaskan kepada Ayah yang duduk di depannya.

Meskipun mata ini terpejam, tapi perkataan dokter masih bisa ku dengar jelas. Benar sekali apa yang dikatakan. Itu semua menjadi sebuah paranoid di pikiranku yang dari kemarin berputar-putar saja di kepala. Perasaan takut itu, ku pendam sendiri. Hanya mencoba menguatkan mental dengan terus berdo'a. Tapi apa daya fisik mampu menjawabnya hari ini. 

Akhirnya operasi di tunda dua minggu lagi setelah menjalani UTS. 

“Dewiyana… Sekarang kamu tidak usah khawatir ya. Kamu harus fokus UTS, tidak usah mikir yang macem-macem. Untuk nyeri di kepala nanti saya kasih obat lagi.” Dokter itu kembali menenangkanku.

“Maafkan saya dok…” Mencoba menyahuti dokter dengan perasaan bersalah, karena ruang operasi beserta tim juga sudah disiapkan oleh dokter.

Dokter itu tersenyum, beliau bilang “Sudah tidak apa-apa, jangan dipaksakan untuk kuat. Good luck buat UTS nya. Hati-hati….”

Akhirnya, ayah memapahku untuk ke luar ruangan. 
Setengah sadar, aku berpamitan untuk kembali pulang.



note: ditulis pada sore hari @kamar Nina.

Komentar

Postingan Populer