"Yes, I do"
Siang ini
begitu terik. Begini rasanya menjalani ibadah puasa di rumah. Panas udara
diluar bisa membuat tubuh menjadi gerah. Jendela kamar pun tetap ku biarkan
terbuka, dengan korden yang bergoyang-goyang tertiup angin kesana-kemari. Kalau
di kantor mungkin tidak terasa, hawanya dingin sekali karena AC yang selalu
menyala. Dan sepertinya keadaan ini membuat mataku semakin sayup yang
menyuruhku untuk segera memejamkannya.
Padahal aku
masih ingin mendengarkan lagu di radio milik dari Maliq de Essentials yang
berjudul “Pilihanku” ini. Sesekali, angin juga bertiup kencang menerobos
ventilasi dari dinding-dinding kamarku yang sudah tampak lawas. Banyak cat yang
mengelupas, sementara kipas angin duduk di atas meja belajar itu juga tak mau
kalah mendengungkan suaranya yang mirip dengan bunyi helikopter. Hoooh….
semakin membuatku merasa tak berdaya dan sangat lelah.
Berjuta
rasa-rasa yang tak mampu diungkapkan kata-kata
Dengan
bermama cara-cara kau selalu membuat ku bahagia
Kau adalah
alasan dan jawaban atas semua pertanyaan
Yang
benar-benar kuinginkan hanyalah kau untuk selalu di sini ada untukku
Maukah kau
tuk… Bzzz
Menjadi…
Befffttttttt..hffftttttt….
Hmmm…
ennyak kali ya kalo menikah pas malam takbiran.
Mataku terlelap. Gelap.
***
Allahu
Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar…. LaailaahaillallahhuAllahuAkbar. Allahu
Akbar Walillahilhamd.
Waktu itu
setelah menunaikan zakat fitrah, aku menyiapkan beberapa suguhan kue di ruang
tamu rumah untuk hari yang suci yang akan tiba esok. Bersama mama dan
adik-adikku. Cahaya bulan dan bintang di langit malam serasa menggelayut
bernuansa malam purnama. Saat aku asik menyiapkan kue dan air minum berasa frambozen ini, aku juga bersuara lirih
mengikuti gema takbir yang terdengar samar-samar. Tiba-tiba, di tengah
kumandang takbir dari masjid sebelah yang kian menggema haru, aku dikejutkan
dengan suara ketukan pintu.
Tok-tok-tok….
“Assalamualaikum…..”
“Wa’alaikumsalam…
sebentar ya.”
Mama
menyuruhku lekas berlari ke arah pintu dan membukanya. Dengan perasaan
semangat, aku menuju ke arah jendela dekat pintu dan mengintip siapa yang
datang. Jantung sudah berdebar, suasana tidak bisa menebak, begitu juga isi
hati. Pfffftttt….. Klekkkk. Aku membuka pintu pelan-pelan.
Ada yang
membuat hati tersentak dan serasa ingin berjingkrak-jingkrak di depan pintu.
Tapi seperti masih tertahan oleh gaya gravitasi bumi yang terus menegapkan
tubuhku. Dia, lelaki berkacamata itu rupanya. Tampan sekali. Dia datang Lengkap
satu keluarga beserta pak penghulu yang sudah disiapkannya. Rasa bahagia di
mulut sudah tak bisa terluap. Mataku semakin membulat dan berbinar. Saat itu
aku hanya ingin berteriak huruf "A" sekencang-kencangnya. Hingga
kedua mataku berkaca-kaca.
“Will you marry me…..???”
Pandangan
dari bola mata coklatnya seolah langsung dilempar seratus delapan puluh derajat
ke arahku yang masih tercengang di depan pintu.
Kalimat itu
terucap dari bibir manisnya di tengah gema takbir yang tak berhenti
berkumandang. Kedua mulutku seperti terkunci, beku dan tidak bisa berkata
apa-apa. Dan anggukan kepalaku detik ini, mungkin sudah mewakili untuk bilang “Yes, I do” tentang pinangan terdahsyat
ini. Akhirnya, tanpa berlama-lama kami melangsungkan akad nikah di ruang tamu
yang penuh dengan kue dan seserahan dari mempelai pria. Keluarga kami saling
bertemu, salaman dan berpelukan. Sementara malam suci ini bagaikan malam yang
sangat sempurna bagi kami berdua.
Para
malaikat di langit saling mendoakan dan turut berbahagia untuk kami. Dia
mengucapkan ijab qabul dengan sangat lantang dan lancar. Ruang tamu rumah
dipenuhi oleh keluarga, saksi, tetangga dekatku, sahabat dan seorang ustadz
yang kebagian untuk membacakan do’a. Balutan make-up lembut terpoles di wajahku dan membuatku tampak lebih
cantik dan menawan. Rasa syukur ini seperti riak-riak yang bergemuruh di
dadaku.
Alhamdulillahirobbil’alamin, Barokallah.
Dia tampan
sekali, Leonardo De Caprio saja lewaaat!
Aku baru
sadar kalau malam ini aku sudah bisa memuaskan pandangan mataku untuk
memandangi wajahnya yang tampak seperti bintang malam. Berkilauan. Karena dia,
suamiku sekarang. Begitu pun dia. Dengan penuh cinta, dia menatapku yang
lengkap berkebaya muslim warna putih, dilengkapi bawahan rok batik dan jilbab
anggun yang menutupi kepala hingga bagian dada atas.
“Kamu cantik
sekali….” Ucapnya lirih.
Kami berdua
sudah sah menjadi pasangan suami istri. Rasa cinta kami berdua seperti semakin
bertambah dan bertambah semenjak akad nikah itu. Apalagi malam takbiran itu,
adalah malam sempurna yang menjadi saksi cinta kami. Sebelum menyambut hari
esok, kami menghabiskan malam dengan cinta utuh yang kami miliki. Di kamar,
tanpa menghiraukan arah jendela yang terbuka memperlihatkan langit malam yang
tetap menganga. Ratusan malaikat serasa turun dari langit bersama para
bidadari-bidadari surga. Mata kami saling beradu tatapan, apalagi senyumnya.
Is make me melt right now..... dan sesekali dia menyubit nakal
pipiku yang tampak merona. Kami memadu cinta suci berdua yang indahnya tiada
tara.
Allahu
Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar…. LaailaahaillallahhuAllahuAkbar. Allahu
Akbar Walillahilhamd.
***
Allahu
Akbar, Allahu Akbar.
Allahu
Akbar, Allahu Akbar.
“Ninaaa,
bangun sayang! Sudah Adzan Ashar tuh.” Suara teriakan mama yang sangat riuh
tiba-tiba saja muncul.
“Yes..
I do.” Aku menjawab panggilan mama dengan mata masih terpejam dan muka yang
lengket dengan bantal.
“Kalau sudah bilang yes, cepetan sholat Ashar dulu sana!” Mama tak berhenti membangunkanku dengan terus
menggoyang-goyang tubuhku yang masih terkulai di kasur.
Aku menggeliat, terbangun dan
“Haaaaaaaaaaahhh. Cuma mimpi…..”
Komentar
Posting Komentar