Kemenangan itu


Lanjutan dari tulisan 'Di Penghujung Ramadhan'

Belum lepas dalam hitungan hari saya menulis pada saat malam takbiran, beberapa jam kemudian, masih dalam naungan takbir yang begitu menggema, fajar pun belum mengintip, hanya bintang-bintang yang beredar di langit gelap yang tetap berpijar lejar.

Pukul 24.30, 1 Syawal 1435 H, kondisi mama kembali mengkhawatirkan.

Malam semakin hening, suara takbir semakin menyambar-nyambar di telinga. Semua terlelap, adik-adik terlelap, Ayah tertidur pulas, rasanya, lebih memilih untuk takut pada keadaan sepi yang menciutkan nadi dari pada harus menghadapi ini sendiri.

Tak pelak, pukul 03.00 dini hari, saya dan ayah menggendong mama untuk diapit di motor tua ini, biar malam hampir pagi ini saya yang hadapi. Biar ketakutan yang menciutkan ini saya yang perangi.

Akankah hari kemenangan ini mendung Tuhan?
Aku memang sedang merindu hujan, tapi kalau mendung datang segelap arang ini, bagaimana dengan kemenangan yang Engkau maksudkan?

Saya memasangkan sepasang kaos kaki dengan panjang selutut untuk mama yang diam saja dengan mata terpejam, saya balutkan jilbab hitam panjang dan jaket angkatan dari kampus yang saya miliki.

“Mama yang kuat ya…” saya berbisik diantara deburan angin yang mulai menyapa kami  perlahan.

Suara yang berdesir lirih itu, mengisyaratkan kemenangan.
Suara yang berdesir lirih itu, mengisyaratkan perjuangan.
Suara yang berdesir lirih itu, mengisyaratkan kebesaran Tuhan.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, walilla hil hamd.

Sepeda motor yang kami kendarai bertiga, sudah melaju ke jalan raya pelan-pelan.

Mataku menelanjangi malam, tidak ada manusia yang berkeliaran di jalanan. Atas gelap, sekeliling ini hanya tersisa cahaya lampu dari barisan lampu kota yang tampak sayu. Jalan ini seperti kota mati, telingaku tertusuk-tusuk hembusan angin yang kencang menembus pori-pori kain. Mataku tersapu-sapu, kadang-kadang sedikit berair melewati jalan ini. Kadang-kadang terpejam sebentar karena rasa kantuk yang terlalu rutuk.

Saya mendekap kuat-kuat, melingkarkan kedua tangan saya ke tubuh mama.

“Allah… Allah…”

Lagi-lagi bisikan saya beradu-padu dengan hantaman angin malam.

Lagi-lagi mata saya keluar air, beradu-padu dengan kristal embun yang perlahan terbentuk di pucuk-pucuk rerumputan.

Kalau pun jalanan ini adalah jalan menuju kemenangan-Mu, kemenangan ini tentang sesuatu yang sedang Engkau ajarkan

Bukankah Engkau yang menjadikan hembusan angin-angin, mendesir lirih di kalbu, adalah teman kami.

Maha Suci Engkau ya Allah, 

Akan saya lakukan dengan ikhlas, demi mengharap Ridho-Mu.
Karena Engkaulah sebaik-baik perancang kehidupan.

Matahari telah terbit, daun-daun terlihat menghijau, satu dua letupan petasan sedikit banyak terdengar dari jendela rumah sakit, 1 Syawal 1435 H, saya tertidur pulas dibawah satu tabung oksigen besar yang tersalur ke pernafasan mama. Mama terselamatkan dari kondisi kritis yang ke-empat kalinya.

Masih dalam naungan kemenangan, saya teringkuk mengecil dalam dekapan Tuhan, dalam lelap yang melelap matahari terbit.


Komentar

Postingan Populer