Hujan Kecil (Versi Cerita)






Aku mendapat kesempatan untuk pergi ke Jakarta karena sebuah prestasi. Cerita ini, hanya cerita kecil tentang catatan hati seorang laki-laki. Aku yakin, bukan hanya aku yang pernah mengalami hal semacam ini. Yang membaca, tentunya juga pernah. Aku meringis.

Perjalanan keretaku siang ini membuat hati sedikit ‘galau’ mungkin ya? Seperti orang lagi menunggu. Entahlah, menunggu apa. Menunggu ada yang berlari, terus meneriakkan nama kita sebelum pergi? Atau ada yang berlagak gusar terus mengejar-ngejar dimana kita berdiri? Atau ada jabat tangan, pelukan? Prosesi cium kening, mungkin? Atau bahkan lambaian tangan? Yaa, bisa jadi seperti itu. Adegan saat si Cinta mengejar Rangga di Bandara, bayangkan jika hal yang aku alami terjadi semanis di film Ada Apa Dengan Cinta. Aduuh...

Tapi kali ini hanya pesan yang aku tunggu. Bukan hal lebay atau ada yang mengejar-ngejar. Hanya pesan seperti “hati-hati” atau “take care…” Atau, ada yang lebih manis lagi? Hmm..

Aku menyunggingkan senyumku ke arah kereta yang barusan datang. Mempercepat langkah kakiku memasuki kereta. Sambil membawa satu tas dan satu koper. Aku menaruhnya dengan aman di atas tempatku duduk. Aku masih terlihat bingung, meletakkan tubuhku dengan posisi senyaman mungkin untuk perjalanan kali ini. Sekalinya sudah nyaman, aku mulai menarik buku yang bisa ku baca-baca.

Satu halaman terbuka, dua halaman terbuka, aku melihat, tidak ada satu pesan masuk di telfon cerdasku. Aku membuka-buka buku lagi, kali ini aku fokuskan untuk benar-benar membaca. Jadi tidak ada playlist yang terputar lagu-lagu jazz kesukaanku, tidak ada suara dari Michael Bubble, tidak ada suara Diana Krall, tidak ada suara Angga Purwadireja, Dira Sugandi, Sania atau pun Tompi. Suasana menghening.

Sepuluh halaman telah terlewati, hastratku melihat ke arah layar telfon cerdas ini muncul lagi. setelah di cek untuk yang ke dua kalinya, tetap sama. Aku melanjutkan bacaan bukuku yang masih berada di genggaman tangan kiri. Hampir separoh halaman terbaca sudah. Aku mulai gelisah, gerakan dudukku seperti orang sedang gusar. Aku mengambil telfon cerdas-ku lagi dan meletakkannya di atas pangkuanku. Mungkin dengan begini, jika ada pesan masuk akan lebih tahu.

Satu jam berlalu, dua jam berlalu. Penantianku habis dimakan pemandangan kereta yang penuh lalu lalang orang jualan. Tiga jam berlalu, empat jam berlalu, mataku tak mau terpejam. Terus melihat ke arah kaca yang dari tadi disuguhi pemandangan sawah yang tak habis-habis. Empat jam pula, telfon cerdas ini tidak berpindah tempat dari atas pangkuanku. Tidak ada getaran, tidak ada bunyi ping, tidak ada bunyi-bunyian lain sama sekali.
  

Aku cek kembali, mungkin tidak ada sinyal. Tapi penuh. Mungkin provider lagi trouble? Mungkin.  Aku berusaha tersenyum kembali. Menatap kaca yang sudah tampak satu dua titik air hujan. Kecil sekali embunnya. Sepertinya, kecil juga harapanku untuk adanya getaran di telfon cerdas-ku kali ini.

Semakin cepat titik-titik itu menutupi permukaan kaca. Sawah-sawah yang nampak jelas tadi semakin buram, kabel-kabel listrik mulai berayun-ayun terkena terpaan angin. Aku melihat ke arah layar lagi. Tetap kosong. Sekarang kaca di hadapanku sudah rata oleh hinggap tetes hujan yang sudah mulai mengerap. Suasana menjadi sangat pilu. Aku merasakan pipiku sedikit basah, lalu aku mengusapnya. Ku kira ini cipratan. Tapi pipiku basah lagi. Berkali-kali aku mengusapnya. Aku menyadari, ini hanya hujan kecil yang jatuhnya beriringan dengan rinai-rinai hujan besar di hadapanku ini.

Kereta semakin melaju cepat. Suasana sudah menggelap. Kini aku ingin terlelap tanpa menengok layar lagi. Ataupun menanti getaran-getaran bahkan bunyi-bunyian yang dihasilkan oleh telfon cerdas-ku ini. Aku mengerti dan mencoba untuk menciptakan mimpi, disini. Tiada menanti.

***

Aku tahu, dia menetes samar setipis rintik
Aku tahu, meski ini kecil akan tetap membasahi
Meski ini lembut akan tetap menyejukkan
Meski turunnya membentuk sudut seratus delapan puluh derajat 
Akan tetap tampak lebat

Hujan kecil ini begitu membuatku menggigil
Tatap tetesnya begitu lembut di pipi
Apalagi jika aku mendongakkan kepalaku ke langit
Seperti rindu yang pelan-pelan mengendap
Membasahi lubuk hati yang kedap
Terakumulasi di setiap sisi
Membentuk berbagai sugesti dalam mimpi
Tapi, hujan kecil ini tidak mampu membasahi seluruh daun-daun yang berguguran, mungkin hanya mampu membalut hapusan aspal di permukaan
Seperti senyum yang kau hantarkan kemarin,
Yang lugu namun cukup menyamankan
Yang tipis namun tetap membahagiakan

Cukup mampu membalut rinduku
Belum mampu menjawab endapan tanya hatiku
Dan aku, tetap menikmati hujan kecil ini

***

Kereta berhenti di hari yang sudah berbeda. Aku terbangun disaat hangat mentari mulai membuat badanku serasa gerah dan sedikit bau. Lega sekali, singgah di tempat yang berbeda dan baru ini. Beban di hati seolah meruntuh. Aku merogoh telfon cerdasku dari saku celana. Melihatnya, memandanginya, mengusap-usap layarnya, lantas senyumku tersuguh seketika.

Aku berucap, “pasti ada do’a dari sana, aku tak boleh membencinya. Karena yang tidak tampak di mata, pasti masih bisa dirasa.” Gusarku pun menghilang bersama hujan kecil, saat hari kemarin.

Komentar

Postingan Populer